Jakarta (pilar.id) – Artikel Keajaiban Peri Berdaya, Mimpi Air Bersih jadi Nyata meraih juara III Anugerah Jurnalistik Pertamina 2022 Kategori CSR untuk wilayah Jatimbalinus. Tentu, ada kisah lain di balik artikel tersebut.
Ketika Pilar.ID memberi tugas saya untuk meliput Peri Berdaya (Program Peningkatan Sarana Air Bersih Berbasis Pemberdayaan Masyarakat), program CSR-nya PT Pertamina EP Papua Field, saya sedang muram. Saat itu bulan Desember 2021, saya baru sehari di rumah setelah seminggu lebih di sisi Selatan Semeru untuk membuat dokumentasi tentang Avicidtourism Ranu Darungan.
Kejadian yang tak saya lupa, beberapa jam setelah saya berpindah ke Ranu Pani (sisi barat), Semeru erupsi. Tempat saya menginap seminggu lebih, terguyur abu. Erupsi itu menelan korban 50-an orang meninggal dan ribuan orang mengungsi. Perjalanan ke Sorong dengan perasaan campur aduk sebab saya ingat beberapa narasumber yang usai saya wawancara sedang bergelut dengan abu vulkanik.
Sampai di Sorong, saya ketemu dengan Mas Panji B. Surata Aziz dan Pak Hariyanto, Communication Relation & Community Involvement and Development PT Pertamina EP Papua Field. Mereka yang terus menemani saya meliput Peri Berdaya ini. Kisah Pak Hariyanto dalam melaksanakan tugasnya di berbagai wilayah tempat ia ditugaskan Pertamina mengharukan saya. Beberapa memang sesuai yang saya pelajari di Community Development, bidang studi master yang sedang saya jalani saat ini. Saya sedang mengambil S2 Development Communication Science di Pasca Sarjana UNS dengan core study Community Development dan CSR.
Namun selebihnya, pengalaman lapang Pak Hariyanto tak akan dapat didapat dari bangku kuliah. Tataran praktis yang hanya bisa dilakukan dengan bagus ketika orang meletakkan hatinya di sana. Itulah yang saya lihat dari kawan-kawan yang melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, khususnya di Papua.
Bagi saya, Papua adalah enigma. Keindahan ganjil yang selalu dan selalu mengundang saya untuk datang. Saya pertama kali datang ke Papua tahun 2005 di Biak untuk meliput anggrek. Lalu diikuti perjalanan yang lain. Keragaman hayati khususnya flora betul-betul memikat saya. Pengalaman yang membuat saya speechless ketika saya punya kesempatan untuk menyusuri hutan Cagar Alam Pegunungan Arfak, Mei-Juni 2022 lalu. Juga di pinggiran Cagar Alam Cycloop, Jayapura, akhir tahun 2021 dan tempat-tempat lain di Papua. Saya tahu kekayaan ini bukan hanya dari berita, tapi saya melihat sendiri.
Hal itulah yang menjadikan saya kagum dengan sepotong tanah di tempat matahari terbit lebih dulu ini. Namun, hati saya trenyuh ketika kekayaan alam yang demikian melimpah namun tak bisa diakses untuk kebahagiaan hidup masyarakat di sana karena gap pengetahuan.
Ketika saya mengunjungi Distrik Klamono, di hutan yang baru saja dibuka untuk lahan, saya melihat keragaman tumbuhan edibel (yang bisa dimakan). Namun masyarakat di sini kesulitan untuk mendapatkan sayuran dan mahal. Ketika saya ngobrol dengan ibu-ibu di sana, pengertian mereka tentang “sayur” adalah kubis, wortel, dan tanaman C4 lainnya. Tanaman dari sub tropis yang butuh input tinggi. Padahal, di situ ada genjer, paku, dan aneka dedaunan “liar” yang bisa dimakan. Sayuran yang ditumbuhkan Semesta. Banyak sekali. Namun tak ada yang menghubungkan kekayaan itu dengan kebutuhan masyarakat. Pun dengan air.
Bisa Mandi dengan Air Jernih
Menurut Pak Hariyanto, anak-anak di pinggir Sungai Klasafet ini belum pernah melihat dan merasakan air jernih bisa untuk mandi. Mereka hanya tahu, air jernih untuk minum. Air jernih ini harus membeli. Sementara untuk mandi dan kebutuhan lain menggunakan air keruh yang diberikan oleh Sungai Klasafet. Air tanah lebih tak bisa diharapkan, sebab bukan lagi keruh, tapi hitam.
Saya belum mendapatkan jawaban penyebab air Sungai Klasafet keruh. Apakah karena erosi dan sedimentasi di hulu, apakah karena hutannya habis, atau yang lain.
Yang jelas, ketika Program Peri Berdaya masuk dan berhasil menjadikan air jernih masuk ke rumah untuk mandi, pandangan masyarakat khususnya anak-anak tentang air berubah. Ada air jernih yang bisa untuk mandi. Saya melihat mata anak-anak yang sungguh bahagia ketika air memancar untuk pertama kali. Antara tidak percaya, takjub, dan bingung. Mereka bisa mandi dengan air jernih.
Anak-anak di seluruh dunia tentu sangat suka bermain air. Selama ini, untuk mendapatkan air keruh pun, mereka harus mengangkut dari sungai atau mandi di sungai. Ketika air jernih mengalir masuk ke pekarangan hingga pintu rumah, saya masih ingat mata jernih anak-anak itu bergembira.
“Eee Tante, ko bisa ikut main air ka?” kata Hesra Thesya (12tahun) sambil mengacungkan jari. Air jernih mengguyurnya.
“Saya suka main air, tapi jangan kauacungkan jari tengah begitu. Tante takut” kata saya.
“Ini salam metal, Tante.”
“Salam metal tidak begitu, salah jari itu.”
“Itu suda…”
Peri Berdaya memberikan dampak sosial bagi masyarakat. Mereka mendapatkan hak atas air. Air yang digunakan lebih sehat. Mereka pun bisa mengembangkan usaha lain dengan air ini. Namun ada hal yang rasanya tak mudah untuk ditabulasikan: ingatan komunal anak-anak di pinggir Sungai Klasafet ketika bisa bermain air jernih.
Hal inilah yang saya tulis di artikel Keajaiban Peri Berdaya, Mimpi Air Bersih jadi Nyata (Pilar.id, 17 Desember 2021). Terima kasih kepada para juri. Kebahagiaan ini saya persembahakan untuk Medji, Kristianto, Isak, Hesra, dan kawan-kawan kecil saya di Klamono yang bahkan tak membaca tulisan ini. Salam sayang dari Tante (Titik Kartitiani/hdl)