Jakarta (pilar.id) – Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berimbas ke banyak sektor. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, dampak kenaikan harga BBM ternyata meningkatkan risiko non-performing loan (NPL) atau portofolio kredit bermasalah.
“Tentunya risiko kredit macet itu mungkin mengalami kenaikan,” kata Bhima, di Jakarta, Senin (5/9/2022).
Bhima menjelaskan, likuiditas perbankan dipastikan akan semakin ketat. Karena, dunia usaha menghadapi risiko suku bunga acuan dan inflasi, serta tingginya biaya energi.
“Maka perbankan akan sangat berhati-hati menyalurkan pinjaman kreditnya. Karena itu, pertumbuhan kredit yang sekarang sudah dalam tahap pemulihan cukup bagus kemungkinan bisa terkoreksi,” ujar Bhima.
Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) perbankan untuk segmen di bawah Rp1 miliar juga diperkirakan akan terganggu. Artinya bakal ada penurunan dari sisi pengumpulkan DPK.
“Karena masyarakat akan mengompensasi kenaikan harga BBM. Dia berarti harus mengeluarkan uang yang lebih banyak. Sementara di kelompok kelas menengah ini kan bisa tercermin juga upah minimum naiknya cuma 1 persen,” kata dia.
Menurut Bhima, pendapatan masyarakat kelas menengah belum seimbang dengan kenaikan harga BBM. Otomatis, mereka akan lebih banyak menyedot tabungan.
Sedangkan untuk DPK kelas kakap, mereka bergantung pada respons dari perbankan. Apakah, perbankan akan cepat juga menaikkan tingkat suku bunga simpanannya atau justru akan terjadi peralihan pada surat utang. Pelaku usaha juga diperkirakan akan menyisihkan cash atau simpanan jangka pendek karena bisa diambil sewaktu-waktu.
“Atau instrumen lain yang memberikan imbal hasil di atas inflasi. Itu yang menjadi tantangan,” kata Bhima. (ach/hdl)