Jakarta (pilar.id) – Pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Koordinasi Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Kemenko Polhukam), mulai pekan ini menyelenggarakan diskusi publik untuk menampung aspirasi dan masukan masyarakat tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, diskusi RKUHP berlangsung di 11 Kota. Mulai dari Kota Medan yang sekaligus mencakup wilayah Aceh, Kepri, dan Riau, hingga Kota Manokwari yang mencakup Papua Barat dan Papua di ujung timur Indonesia.
Mahfud MD menegaskan, jika melihat kembali konstitusi hukum nasional, maka pembentukan KUHP Nasional adalah salah satu politik hukum yang pertama, yang diperintahkan untuk dibuat di Negara Republik Indonesia.
Di dalam aturan peralihan Pasal 2 UUD 1945 digariskan, semua lembaga dan peraturan kolonial yang masih berlaku, maka tetap berlaku sepanjang belum dibentuk yang baru menurut UUD ini.
“Artinya, ketika kita menyatakan kemerdekaan pada saat itu, sudah ada perintah konstitusi agar hukum-hukum yang berlaku sejak zaman kolonial Belanda, segera diganti dengan hukum-hukum yang baru dan yang lama hanya boleh berlaku sampai dibentuk hukum yang baru tersebut,” ujar Mahfud, Rabu (7/9/2922).
Kata Mahfud, salah satu hukum yang berlaku sejak zaman kolonial Belanda yang harus diganti adalah KUHP.
“Mengapa KUHP zaman penjajahan Belanda harus diganti? Jawabannya menurut filsafat, sosiologi, dan menurut ilmu politik hukum, karena hukum adalah pelayan masyarakat di mana hukum itu berlaku,” ujarnya.
Menurutnya, di mana ada masyarakat, di sana ada hukumnya yang sesuai dengan ideologi, pandangan, dan kesadaran hukum di masyarakat itu. Menurut Mahfud, hukum adalah pelayan masyarakatnya sehingga harus memuat isi yang sesuai dengan kehidupan masyarakat di mana hukum itu berlaku.
“Jika masyarakat berubah, maka hukum juga harus berubah, agar sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat yang dilayaninya. Oleh karena masyarakat Indonesia sekarang sudah berubah, dari masyarakat terjajah menjadi bangsa merdeka, maka hukum kolonial harus diganti dengan hukum nasional,” kata dia.
Setelah tidak kurang dari 59 tahun tepatnya sejak 1963, pemerintah dan masyarakat telah mendiskusikan perubahan KUHP, yang saat ini sudah menghasilkan rancangan KUHP yang relatif siap untuk diundangkan.
“Sudah selama 59 tahun kita terus membahas dan merancang RKUHP ini melalui tim yang silih berganti dan mendapat arahan politik hukum dari 7 presiden, sehingga rancangan ini dapat dikatakan sudah siap untuk diberlakukan,” tegasnya.
Meskipun begitu, karena hukum harus merupakan cerminan kesadaran dan keinginan masyakarat, maka presiden meminta agar Kementerian dan Lembaga mendiskusikan lagi dengan para akdemisi, ormas-ormas, masyarakat sipil dan lain-lain dari pusat sampai daerah.
“Itu sebabnya, kita bertemu hari ini dalam dialog publik RKUHP untuk mencapai kesepahaman dan formulasi yang lebih pas atas rancangan yang sudah dihasilkan ini,” tutup mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI ini. (her/hdl)