Jakarta (pilar.id) – Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, cendekiawan Muslim Indonesia, mengingatkan jika perbedaan dalam menentukan Idul Fitri 1 Syawal perlu dihadapi dengan sikap yang dewasa dalam beragama.
Ia mengatakan, umat Islam perlu memperlakukan perbedaan dengan cara yang dewasa dalam beragama. Meskipun perbedaan tersebut tidak selalu terjadi setiap tahun, hal ini terjadi karena perbedaan hadis yang digunakan, yaitu antara sempurnakan bilangan bulan dan perhitungan atau perkirakan posisi hilal.
“Keduanya menggunakan rukyat (bahasa Arab: melihat atau berpendapat), tetapi berbeda dalam cara penggunaannya,” kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Satu menggunakan rukyat bil’aini (melihat dengan mata inderawi), sedangkan yang lain menggunakan rukyat bil’aqli (melihat dengan mata pikiran).
Keduanya sulit dipertemukan, seperti meyakini sesuatu dengan melihatnya (seeing is believing) dan meyakini sesuatu dengan mengetahuinya (knowing is believing).
Dalam hal ini, ia juga mengingatkan bahwa Idul Fitri adalah ibadah yang didasarkan pada keyakinan sesuai dalil naqli dan ‘aqli.
“Kepada umat Islam mari menunaikan Shalat Idul Fitri sesuai keyakinan masing-masing tanpa merusak silaturahim dan ukhuwah Islamiyah,” ajaknya.
Din Syamsuddin menambahkan bahwa pemerintah perlu berada di tengah-tengah dengan mengayomi semua pihak serta tidak mengambil posisi tunggal.
Sesuai dengan amanat konstitusi, pemerintah harus mengayomi warga negara dengan memberi kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing.
Ia menekankan bahwa kepemimpinan yang bijaksana berdasarkan Pancasila perlu mengumumkan bahwa pada tahun ini ada dua keyakinan tentang Idul Fitri, yaitu pada tanggal 21 April 2023 dan 22 April 2023.
Umat diminta memilih sesuai keyakinannya dan tetap merayakan Idul Fitri dengan semangat ukhuwah Islamiyah. (hdl)