Jakarta (pilar.id) – Peringatan Hari Bumi Internasional 2022 sepertinya harus disikapi dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Terdapat beberapa indikator atau pekerjaan rumah yang harus dilakukan negara jika ingin memproteksi lingkungan saat ini atau ingin menyelamatkan bumi.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uli Arta Siagian menilai, pada dasarnya peringatan Hari Bumi Internasional memiliki semangat untuk memproyeksikan atau memuhihkan kondisi bumi yang diketahui saat ini kualitasnya semakin menurun dengan ditandai perubahan iklim dan sebagainya.
“Maka menurut kami harus ada tindakan serius dari pemerintah Indonesia,” kata Uli kepada Pilar.id, Jumat (22/4/2022).
Tindakan koreksi yang perlu dilakukan ialah mengoreksi kebijakan-kebijakan yang membuka lebar keran investasi dan berdampak pada masifnya ekspansi industri ekstraktif.
Lalu, pemerintah juga harus mengoreksi pembangunan-pembangunan skala besar yang tidak berkontribusi secara signifikan kepada kehidupan rakyat. Ia menilai, pembangunan skala besar saat ini malah merampas apa yang dimiliki oleh rakyat.
Mulai dari merampas tanah, merampas keutuhan hutan sebagai bagian dari ruang hidup, dan merampas sungai yang selama ini itu menjadi bagian dari kehidupan keseharian sebagai masyarakat Indonesia.
Selain harus mengoreksi kebijakan-kebijakan yang ada, menurut dia, pemerintah juga harus mengevaluasi seluruh bentuk-bentuk perizinan yang ada saat ini, baik itu izin perkebunan, pertambangan, pemanfaatan hutan ataupun izin pariwisata berbasis modal di wilayah pesisir.
“Itu semua harus dievaluasi. Bahkan perizinan untuk konteks pembangunan proyek strategis nasional sekalipun,” tegasnya.
Pasalnya dari banyaknya catatan WALHI, terdapat ratusan praktik-praktik dari ekspansi industri ekstraktif yang sekarang berkonflik dengan masyarakat. Jelas hal itu berkontribusi kepada penurunan kualitas lingkungan hidup.
Menanggapi hal ini, pemerintah harus melakukan beberapa hal. Pertama, ketika ditemukan perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hukum atau peraturan yang ada, maka harus ditindak tegas berupa pencabutan izin.
Kedua, apabila ditemukan perusahaan-perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat atau konflik agraria, maka tugas negara adalah mengembalikan kembali kedaulatan rakyat atas tanah atau ruang hidupnya.
Ketiga, ketika pada saat proses evaluasi ditemukan perusahaan-perusahaan yang berkontribusi pada pengerusakan lingkungan, maka proses evaluasi itu harus menindaktegas perusahaan dengan melakukan pencabutan atau pemulihan yang seharusnya dilakukan perusahaan.
“Itu beberapa indikator yang bisa dilihat dari komitmen pengurus negara dalam menyelamatkan lingkungan hidup dan bumi,” ujar Uli. (her/din)