Surabaya (pilar.id) – Peringati Hari Bumi 22 April 2022, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), BEM Universitas Airlangga, komunitas Co Ensist Fak Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, River Warrior dan Mahasiswa Ikom Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, melakukan kegiatan aksi teatrikal mengunakan manekin yang dipenuhi sachet dari makanan, minuman, sabun, hingga sampo.
Aksi teatrikal tersebut digelar di Gedung Gedung Negara Grahadi Surabaya dengan mengusung tema ‘Selamatkan Manusia Dari Sachet’.
Sekitar 20 pegiat lingkungan ini berangkat dari Gedung Inspirasi Ecoton Gresik dan akan bergabung dengan puluhan masa lain dari BEM Unair dan mahasiswa Untag Surabaya di Taman Apsari Surabaya.
Sekadar catatan, Hari Bumi Sedunia pertama kali digagas oleh pengajar lingkungan Gaylord Nelson pada tahun 1970 di Amerika Serikat.
Peringatan Hari Bumi, biasa disebut dengan Earth Day, telah di peringati di berbagi belahan dunia. Salah satunya yang dilakukan oleh puluhan aktivis lingkungan yang mengelar aksi teatrikal di depan Gedung Grahadi Surabaya hari ini, Jumat (22/4/2022).
Koordinator aksi Kholid Basyaiban yang juga merupakan Kordinator Legal dan Advokasi Ecoton mengatakan, saat ini muncul berbagai masalah lingkungan hidup, salah satunya sampah.
“Sampah yang banyak ditemukan adalah sampah sachet dari minuman seperti kopi dan minuman rasa- rasa dengan persentase sebesar 21 persen. Diperkirakan jumlah kemasan sachet yang terjual sekitar 1,3 triliun pada tahun 2027 yang berpotensi untuk menjadi sampah dan mencemari lingkungan,” jelasnya.
Keberadaan plastik di lingkungan, khususnya sachet, berpotensi jadi ancaman serius bagi kesehatan dan lingkungan yaitu mikroplastik.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo itu menambahkan, sampah sachet jadi suatu permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Karena keberadaannya sebagai sampah residu yang sulit terurai dan butuh waktu lama untuk terurai, karena kandungan senyawa kimia berbahaya yang ada dalam kemasan plastik sachet sekali pakai seperti phthalate sebagai zat pemlastis, dioxin, senyawa berflourinasi, BFRs (Brominated Flame Retardants), Bisphenols A, dan lain-lain.
Untuk itu, mewakili aksi pegiat lingkungan hari ini, ia menyodorkan 4 hal yang wajib dilakukan.
Pertama, upaya EPR perlu digiatkan bagi semua pelaku industry penghasil produk-produk sachet untuk melakukan pemulihan lingkungan sesuai amanat pasal 15 UU nomor 18 tahun 2008 tentang pengolahan sampah.
Kedua, pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat, wajib membuat kebijakan atau regulasi tentang pelarangan plastic sekali pakai, sebagai langkah memutus kran masuknya sampah plastik ke lingkungan, terutama ke sungai.
Ketiga, perlu adanya sosialisasi intensif pengolahan sampah yang benar dan penyediaan fasilitas sampah yang dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi, bahkan kabupaten dan kota terhadap masyarakat, sebagai upaya tanggung jawab dari pemerintah.
“Keempat, melalui aksi ini kami mengajak masyarakat untuk bergaya hidup Zero Waste dan memilah sampah dari rumah menjadi 3 jenis, yaitu sampah organik yang dimanfaatkan sebagai kompos, sampah residu dibuang di TPA dan sampah anorganik untuk didaur ulang,” tegas Kholid.
Dari penelitian yang sudah dilakukan, pencemaran mikroplastik di lingkungan dapat menjadi suatu ancaman yang mampu mengganggu keseimbangan ekosistem.
Seperti pada studi-studi sebelumnya, pencemaran mikroplastik sudah ditemui mulai dari perairan, daratan, udara, bahkan kawasan yang minim aktivitas manusia sekalipun.
Keadaan ini diperparah dengan ditemukannya migrasi mikroplastik masuk ke dalam rantai makanan, yang salah satunya juga ada manusia.
Studi 5 tahun terakhir kembali membuktikan bahwa akhirnya perjalanan mikroplastik telah menginvasi tubuh manusia seperti di feses, plasenta ibu hamil, darah, bahkan paru-paru.
“Kehadiran mikroplastik didalam tubuh manusia disinyalir melalui 3 jalur utama yakni dari sistem pencernaan, sistem pernapasan dan paparan,” kata Eka Chlara Budiarti, Ketua Laboratorium Ecoton.
Kontaminasi wadah ke makanan, atau kontaminasi bahan makanan sebelum diolah, lanjutnya, dapat masuk melalui sistem pencernaan.
Seperti pada penelitian terkini, ikan-ikan di Muara Bengawan Solo terkontaminasi mikroplastik. Seperti ikan keting (Mystus nigriceps) tercemari hingga 2.1 partikel/gram, ikan belanak (Moolgarda seheli) 1.8 partikel/gram dan ikan Bandeng (Chanos chanos) sebanyak 1.4 partikel/gram.
“Adapun mikroplastik yang dikonsumsi ikan-ikan tersebut berasal dari polimer Polyester (PE) yang biasa digunakan untuk pembuatan kain atau tekstil, Polyethylene terephalate (PET) dari yang biasa digunakan untuk pembuatan kemasan AMDK, dan Polypropylene (PP) yang biasa digunakan dalam pembuatan botol-botol perawatan tubuh maupun produk kebersihan rumah tangga,” jelas Eka.
Melengkapi data ini, Dhito Maulana Andriansyah, mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Trunojoyo Madura menuturkan, hasil penelitian di feses manusia menjadi identifikasi awal penemuan mikroplastik dalam tubuh.
“Mengingat mikroplastik dengan ukuran tertentu dapat terendap ke permukaan mukosa usus yang nantinya akan dikeluarkan bersamaan dengan feses. Dari 102 responden, seluruhnya positif mengandung mikroplastik dengan rata-rata sebanyak 17.5 partikel yang teridentifikasi setiap 10gram feses,” jelas Dhito.
Adapun mikroplastik yang terdeteksi di feses, lanjutnya, dominan berasal dari polimer Polypropylene (PP) yang biasa digunakan dalam pembuatan botol-botol perawatan tubuh maupun produk kebersihan rumah tangga, Ethylene Vinyl Alcohol (EVOH) yang biasa digunakan untuk pembuatan plastik kemasan kedap udara.
“Selain itu juga Nylon yang biasa digunakan untuk pembuatan tekstil, Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) yang biasa digunakan untuk pembuatan sachet makanan dan Polyethylene Terephthalate (PET) yang biasa digunakan untuk pembuatan kemasan AMDK,” tutupnya. (hdl)