Jakarta (pilar.id) – Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebut, inflasii bakal menjadi momok menakutkan bagi perekonomian Indonesia hingga akhir tahun. Karena itu, ia mewanti-wanti agar mewaspadai kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan melambat di kuartal III-2022.
“Kami melihat potensi di kuartal III tampaknya akan turun dan akan rendah daripada kuartal II,” kata Tauhid, di Jakarta, Minggu (7/8/2022).
Pemerintah, lanjut Tauhid, tidak cukup cermat dan kurang serius untuk mendorong peran anggaran negara dalam menumbuhkan perekonomian. Hal itu terlihat dari belanja pemerintah justru mengalami negatif. Anggaran untuk belanja barang terjadi kontraksi sebesar 20,75 persen, dan belanja modal 19,8 persen.
“Belanja modal dan belanja barang mengalami kontraksi yang cukup dalam dan ini menyebabkan kenapa peran pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi menjadi negatif,” papar Tauhid.
Ia mengaku heran, ada anggapan seolah-olah ekonomi bisa berjalan sendiri tanpa peran pemerintah. Padahal, pemerintah memiliki peran strategis berupa pelonggaran kebijakan yang sangat dibutuhkan dunia usaha, misalnya di bidang kesehatan dengan melonggarkan mobilitas sosial.
“Sehingga kelihatan di sektor transportasi dan pergudangan cukup tinggi,” kata dia.
Lebih lanjut, Tauhid memaparkan terkait inflasi yang sudah mencapai 4,9 persen pada Juli 2022. Padahal, bulan sebelumnya masih 4,35 persen. Menurutnya, sulit untuk berharap inflasi inti akan lebih rendah.
“Di Juni itu 2,3 persen (inflasi inti), artinya pertumbuhan tinggi, inflasi tinggi. Ini menjadi satu bahaya yang cukup signifikan mengingat inflasi yang bergejolak sudah di angka 10,07 persen,” kata dia.
Menurut Tauhid, kenaikan beberapa komoditas, seperti bawang, cabai, telur, dan daging sampai akhir tahun nanti akan menjadi problem yang cukup serius. Selain disebabkan oleh cuaca atau iklim ekstrem, minimnya peran pemerintah dalam mengatasi persoalan tersebut juga menjadi problem tersendiri.
“Kita tidak melihat kemampuan pemerintah mengatasi persoalan tersebut bertahun-tahun.Tidak ada terobosan masal mengatasi bagaimana harga bawang merah, cabai, telur, dan daging ayam lebih stabil lagi,” kata dia.
Di sisi lain, Tauhid menambahkan, dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang tinggi akan menimbulkan ketidakpastian bagi penduduk miskin. Terutama bagi mereka yang bekerja di sektor perdagagan, pertanian, serta industri yang tumbuh di bawah rata-rata nasional pada kuartal II-2022.
Penduduk miskin sangat bergantung pada komoditas pangan, seperti beras, cabai, rokok kretek, tarif uang sekolah, bahan bakar minyak (BBM), dan LPG 3 Kg. Celakanya, anggaran pemerintah tidak mampu mensubsidi semuanya. Saat ini, BBM bersubsidi masih bisa dipertahankan sehingga cukup membantu penduduk miskin.
“Ini jadi catatan kita,” pungkasnya. (Akh/din)