Jakarta (pilar.id) – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa kolaborasi antara teknologi modern dan kearifan lokal akan memperkuat sistem peringatan dini terhadap gempa bumi dan tsunami. Dalam upaya mencapai nol korban, keduanya dapat berperan penting dalam melengkapi satu sama lain.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Dwikorita dalam Dialog Mitra yang digelar oleh BMKG dalam rangka memperingati Hari Kesadaran Tsunami Dunia, Jumat (3/11/2023).
Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah pakar dan akademisi, termasuk Jan Sopaheluwekan dari Universitas Indonesia, Andi Eka Sakya dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Harkunti Pertiwi dari ITB, Hamzah Latief dari ITB, Eko Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta, dan lainnya.
Dwikorita menjelaskan bahwa teknologi tidak selalu dapat diandalkan dalam situasi darurat. Dia mengutip contoh ketika Jepang, yang memiliki sistem peringatan dini canggih, mengalami gempa bumi dan tsunami pada Maret 2011. Meskipun demikian, jumlah korban jiwa akibat bencana tersebut tetap tinggi. Ini menunjukkan bahwa teknologi bukanlah jaminan mutlak dalam sistem peringatan dini.
Oleh karena itu, selain memodernisasi alat dan teknologi, BMKG juga aktif mendukung pelestarian kearifan lokal masyarakat terkait dengan bencana alam. Indonesia memiliki banyak pengetahuan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun dan terbukti efektif dalam menghadapi bencana, seperti Smong di Pulau Simeulue Aceh, Bomba Talu di Palu, Caah Laut di Lebak, dan lainnya.
Sistem peringatan dini gempa bumi dan tsunami antara Jepang dan Indonesia hanya terpaut 0,5 hingga 2 menit. Meskipun demikian, Indonesia terus berupaya mengejar ketertinggalan dengan mengintegrasikan teknologi baru dan memperkuat kearifan lokal masyarakat dalam upaya meminimalisir risiko bencana.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyoroti keberlanjutan upaya mitigasi dan penanggulangan bencana yang sering terputus karena perubahan kepemimpinan di daerah. Dia berharap bahwa strategi dan upaya yang telah dirumuskan dapat berlanjut bahkan ketika terjadi pergantian kepala daerah, sehingga tidak perlu memulai kembali dari awal.
Dwikorita juga menekankan pentingnya kolaborasi antara Pemerintah, Akademisi/Ilmuwan, Pihak Swasta, Masyarakat, dan Media untuk mencapai nol korban. Literasi kebencanaan masyarakat Indonesia masih rendah, sehingga kerjasama semua pihak, termasuk media, akan membantu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bencana.
Kegiatan ini adalah langkah BMKG dalam mencetak para ahli muda di bidang teknologi otomotif hemat energi dan berkelanjutan. Dengan kombinasi teknologi dan kearifan lokal, diharapkan para mahasiswa dapat berperan dalam menciptakan solusi untuk masa depan yang lebih berkelanjutan. (riq/ted)