Jakarta (www.pilar.id) – Pernah jatuh cinta kan? Ya, saat kita bertemu seseorang yang mengagumkan, menjadi magnet, ada saat tertentu, jantung bakal berdebar, salah tingkah, dan kadang mendadak bodoh.
Suatu saat, sejumlah ilmuwan mencoba menggali kemungkinan, mengapa kita rela melakukan itu. Kelembutan cinta yang hangat, dibelokkan sebagai fakta keilmuan. Cinta dianggap sebagai realitas sains yang dingin dan keras. Dan saat keduanya bertemu, tes laboratorium dan berbagai teori hormon pun muncul.
Tiga tahun lalu, mengutip sebuah catatan dari Harvard, ada database publikasi ilmiah menghasilkan lebih dari 6.600 halaman hasil pencarian kata ‘cinta’. National Institutes of Health (NIH) bahkan melakukan 18 uji klinis soal cinta.
Hasilnya, seperti makna cinta itu sendiri, ‘cinta’ ala NIH memiliki makna berlapis. Termasuk sebagai akronim untuk studi penyakit Crohn. Penyakit ini dikenal sebagai radang usus kronis yang memengaruhi lapisan saluran pencernaan dan dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Tentu logika yang mengada-ada. Bagaimana mungkin cinta dianggap sebagai penyakit usus. Ilmuwan yang benar-benar sangat bermasalah dengan logika dan perasaannya.
Tapi saat itu ada penjelasan, layaknya penyakit usus, cinta kadang memiliki gejala yang sama ; nyeri perut, diare, turun berat badan, anemia, dan kelelahan. Dan penyakit Crohn, tidak bisa disembuhkan.
Sepak terjang ilmuwan itu pun mengundang cibiran, termasuk dari komedian George Burns yang mengatakan, cinta itu seperti sakit punggung. “Tidak muncul di sinar-X, tetapi Anda tahu itu ada di sana,” katanya.
David Hoffman dan Jacqueline Olds bergabung dengan panel ahli di Fakultas Hukum tentang ‘Menegosiasikan Cinta: Negosiasi Antarpribadi dan Hubungan Romantis’, kemudian menawarkan saran seperti memiliki rekening bank bersama, jangan mulai menggunakan keterampilan negosiasi terlalu dini dalam suatu hubungan, dan jangan pernah berasumsi.
Tak jelas, dari mana gagasan itu muncul. Dari pengalaman pribadi yang mulai terasa tidak menyenangkan, atau hal lain? Yang jelas saran berikutnya terasa lebih masuk akal. Banyak mendengarkan, sedikit mengkritik, dan berbagi uang.
Saran ahli ini muncul menjelang Hari Valentine. Orang pun berlomba untuk maklum. Logika selanjutnya adalah cinta dan kebahagiaan. Cinta, pernikahan, tahap selanjutnya adalah muncul buah hati. Ini jelas jadi kegembiraan. Sayang, senyum itu tak boleh muncul terlalu lama. “Memiliki gen yang baik itu bagus. Tetapi kegembiraan lebih baik,” kata mereka. Astaga.
Kegembiraan membuat tubuh sehat, panjang umur. Dan jika panjang umur jadi tujuan, cobalah merangkul komunitas. Hidup normal lalu melebur dengan lingkungan. Itu membantu kita hidup lebih lama. Lebih bahagia.
Sedikit lega, kemudian, saat Richard Schwartz, profesor psikiatri di Harvard Medical School (HMS) dan konsultan untuk rumah sakit McLean dan Massachusetts General (MGH), mengatakan jika tidak pernah terbukti, cinta membuat kita sakit secara fisik, meskipun itu meningkatkan kadar kortisol, hormon stres, yang terbukti menekan fungsi kekebalan tubuh.
Cinta juga mengaktifkan neurotransmitter dopamine, yang dikenal dapat merangsang pusat kesenangan otak. Pasangkan itu dengan penurunan kadar serotonin – yang menambahkan sedikit obsesi – dan Anda memiliki cinta kegilaan yang gila, menyenangkan, tercengang, dan mendesak.
“Ini cukup kompleks, dan kami hanya tahu sedikit tentang itu,” kata Schwartz. Ada fase dan suasana cinta yang berbeda. Fase awal cinta sangat berbeda dari fase selanjutnya.
Selama tahun pertama, kadar serotonin berangsur-angsur kembali normal, aspek bodoh dan obsesif berangsur ke moderat atau normal. Periode itu diikuti dengan peningkatan hormon oksitosin, neurotransmitter yang terkait dengan bentuk cinta yang lebih tenang dan lebih matang.
Oksitosin membantu mengikat ikatan, meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, dan mulai memberikan manfaat kesehatan yang ditemukan pada pasangan menikah, yang cenderung hidup lebih lama, memiliki lebih sedikit potensi stroke dan serangan jantung. Hubungan yang baik, membuat kita hidup lebih lama. Setidaknya potensi itu lebih tinggi ketimbang operasi besar dan kanker.
Jadi, hentikan saja. Anda tidak perlu membaca catatan ini. Keluar rumah, tentu tetap mematuhi protokol kesehatan, temui seseorang. Pastikan ia belum memiliki kekasih, belum menikah, dan mungkin tertarik dengan Anda. Selanjutnya, berbahagialah. Itu jalan termudah agar hidup lebih lama. (hdl)