Jakarta (pilar.id) – Beberapa tahun lalu, gagasan ini dianggap mengada-ada. Kacamata bagi tunanetra, membantu mereka membaca teks, mengenali wajah, bahkan menuntun perjalanan.
Tapi ini kacamata pintar Envision. Pengguna cukup mengetuk sisi kacamata, lalu membuka menu untuk memilih fungsi yang diinginkan. Memindai teks, panggilan video, hingga navigasi.
Kacamata ini menyodorkan gagasan yang dulu dianggap mimpi. Memadukan alat bantu untuk mereka yang tidak bisa melihat, lalu menanam teknologi artificial intelligence di dalamnya. Sehingga saat mengenakan kacamata ini, user bisa lebih dekat dengan lingkungannya.
Mungkin tak ada yang tahu jika di kacamata itu ada kamera kecil, lensa canggih, lalu mendeskripsikan hasil tangkapan lewat speaker internal kecil. Artinya, Envision dapat memberi tahu penggunanya saat ada yang mendekat. Bahkan ia akan menggambarkan apa saja yang ada di dalam ruangan.
Saat melakukan video call, kamera akan menangkap obyek di sekitar orang yang diajak video call. Menerangkan, misal, di dekatnya ada sebuah gitar, seekor kucing, pakaian yang digunakan, atau yang lain.
Teknologi kacamata Envision oleh Google Glass. Perusahaan ini diam-diam mengembangkan kacamata pintar ini sejak 2013. Saat itu, mereka sempat bicara tentang sebuah cara untuk menerima panggilan, mengirim teks, mengambil gambar, dan melihat peta, langsung dari headset.
Sayang, saat dirilis, respons pasar cenderung minim. Ya, produk ini gagal di pasar bahkan sebelum mencapai rak toko. Beberapa tahun kemudian, Google mulai mengerjakan kacamata edisi perusahaan, yang menjadi dasar Envision.
Desain yang digunakan, konon, terbilang ideal. Karena mampu menangkap dan menyampaikan informasi seperti yang dilihat pengguna.
“Apa yang dilakukan Kacamata Evision pada dasarnya adalah mengambil semua informasi visual yang ada di sekitar, mencoba memproses informasi itu, dan kemudian menyampaikannya kepada pengguna,” kata Karthik Kannan, salah satu pendiri Envision.
Ia pun menjelaskan, ada beberapa aplikasi lain yang dirancang untuk membantu orang-orang tunanetra atau rabun, termasuk aplikasi Google Lookout. Produk ini dapat mengidentifikasi label makanan, menemukan benda di dalam ruangan, dan memindai dokumen serta uang.
Kemudian Be My Eyes, aplikasi lain yang menghubungkan orang-orang tunanetra atau dengan sukarelawan yang dapat melihat, yang dapat membantu mereka berkeliling melalui obrolan langsung.
Tetapi tujuan Envision adalah membuat pengalaman itu lebih intuitif. Desain headset membebaskan tangan orang sehingga mereka dapat lebih mudah memegang tongkat atau mengajak anjing berjalan-jalan, dan kamera berada tepat di sebelah mata, sehingga penggunanya tidak perlu mengangkat ponsel untuk memindai sekeliling.
Kini, Kacamata Envision dibanderol dengan harga 3.500 Dollar AS atau sekitar Rp 50 juta. Pengguna juga dapat memilih menggunakan aplikasi Envision yang siap membantu memindai teks dan memberi tahu lingkungan sekitar dengan menggunakan kamera ponsel.
Khusus aplikasi ini, Envision memasang harga 20 Dollar AS untuk langganan satu tahun, atau 99 Dollar AS untuk langganan seumur hidup. (hdl)