Jakarta (pilar.id) – Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, mengungkapkan bahwa sebanyak 12 dari 16 pemeran dalam kasus film dewasa, terdiri dari delapan wanita dan empat pria, telah memenuhi panggilan Polda Metro Jaya pada Selasa (19/9/2023).
Ade Safri menjelaskan bahwa tim penyidik Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya telah melakukan pemeriksaan terhadap delapan dari sebelas ‘talent’ wanita yang hadir.
“Terkait lima ‘talent’ pria, terkonfirmasi dari lima yang hadir adalah empat orang, satu belum hadir,” ungkapnya.
Namun, Ade Safri tidak memberikan rincian tentang siapa yang hadir dalam pemeriksaan dan siapa yang tidak memenuhi panggilan penyidik dengan alasan privasi saksi.
Satu dari 16 pemeran, berinisial VV, telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi pada hari kedua panggilan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya. VV tiba di Polda Metro Jaya dengan didampingi pada Selasa (19/9/2023).
Selanjutnya, pemeran film dewasa berinisial CN juga memenuhi panggilan Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Kuasa hukum CN, Acong Latif, menjelaskan bahwa kliennya merupakan korban dalam kasus tersebut dan sempat menolak ajakan untuk terlibat dalam produksi film dewasa.
Gaji Bulanan, Bukan per Film
Dalam kasus produksi film dewasa ini terungkap bahwa dua tersangka, berinisial AIS dan JAAS, menerima gaji bulanan dari Rumah Produksi Kelas Bintang, bukan berdasarkan per judul film.
Hika T. A. Putra, kuasa hukum keduanya, menjelaskan bahwa kedua klien mereka bekerja sebagai karyawan di rumah produksi tersebut. Mereka tidak dibayar berdasarkan per judul film atau berdasarkan jumlah anggota (member), melainkan menerima upah bulanan yang berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Hika menjelaskan bahwa awalnya kliennya bekerja untuk film biasa yang tidak melanggar aturan atau norma hukum apapun, termasuk yang berhubungan dengan film dewasa.
“Tapi seiring berjalannya waktu, otak dari pelaku ini atau pimpinannya (tersangka I) kemudian mengarahkan pada produksi-produksi yang semakin vulgar. Sehingga klien kami tidak mampu dan tidak memiliki kekuasaan untuk berontak dan keluar karena status mereka di situ sebagai karyawan,” kata Hika.
Ancaman penjara hingga 12 tahun
Hika juga menambahkan bahwa kliennya tidak mengetahui bahwa produksi film tersebut ternyata diunggah ke sebuah situs berbayar. Mereka hanya bertugas untuk memproduksi film dan dalam beberapa adegan, mereka diingatkan oleh pimpinan produksi agar tetap mematuhi batasan tertentu.
“Saat itu, mereka diinformasikan bahwa film-film yang mereka buat adalah legal dan masih belum termasuk dalam kategori film porno karena ketidaktahuan mereka terkait dengan undang-undang pornografi dan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), mereka mengikuti saja,” jelasnya.
Sebelumnya, Ditreskrimsus Polda Metro Jaya mengungkap kasus industri film bermuatan asusila atau konten dewasa dengan total produksi sebanyak 120 film. Kasus ini melibatkan lima tersangka, berinisial I, JAAS, AIS, AT, dan SE. Kelima tersangka memiliki peran yang berbeda dalam produksi film tersebut, termasuk sutradara, editor, sound engineer, dan sekretaris.
Para tersangka dihadapkan pada berbagai pasal, termasuk Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) dan/atau Pasal 34 ayat (1) jo Pasal 50 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 dan/atau Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 30 dan/atau Pasal 7 jo Pasal 33 dan/atau Pasal 8 jo Pasal 39 dan/atau Pasal 9 jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ancaman hukuman dalam kasus ini mencakup penjara hingga 12 tahun dan denda paling tinggi sebesar Rp10 miliar. (hdl)