Jakarta (www.pilar.id) – Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es yang dapat terjadi kepada siapapun dan dimanapun, termasuk di tempat kerja.
Dikatakan Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), mengatakan, perlu dilakukannya penyelesaian secara komprehensif dari hulu ke hilir untuk melindungi pekerja perempuan dari kekerasan, baik itu fisik, psikis, seksual, dan lain sebagainya.
Dua tahun lalu, Kemen PPPA mulai mencanangkan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) guna memberikan jaminan hak perlindungan perempuan. Inisiasi ini diharap jadi wadah untuk perusahaan-perusahaan agar bisa memberikan perlindungan kepada pekerja perempuan.
“Ini juga menjadi salah satu komitmen dari Menteri PPPA untuk memastikan perlindungan pekerja perempuan tidak hanya dilakukan pada saat perempuan bekerja, tetapi juga pada saat mereka di luar pekerjaannya,” ujar Ratna, saat hadir dalam Talkshow Merespon dan Upaya Penanganan Kekerasan di Tempat Kerja dalam Memperingati Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan secara virtual.
Ratna menyebutkan, saat ini RP3 sudah ada di enam titik di Indonesia, diantaranya Cakung, Bintan, Cilegon, Pasuruan, dan Musi Banyuasin. Lebih lanjut, Ratna menegaskan, pembentukan RP3 oleh Kemen PPPA ini tidak hanya untuk merespon kekerasan yang telah dialami oleh pekerja perempuan, melainkan juga sebagai bentuk pencegahan terjadinya kekerasan.
Meski begitu, Ratna meminta dukungan seluruh pihak untuk dapat memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan, khususnya di tempat kerja. Pasalnya, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), telah terjadi 7818 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 7917 korban sepanjang Januari-Oktober 2021.
Tempat kerja pun menjadi salah satu lokasi rentan terjadinya kekerasan, yaitu 156 pelaporan. Tak hanya itu, sebanyak 79 korban mengalami kekerasan oleh rekan kerjanya dan 29 korban oleh majikannya.
“RP3 ini memang menjadi bagian ikon dari Kemen PPPA untuk bisa memastikan perlindungan hak pekerja perempuan. Namun ini perlu gerakan masif kita semua, kami selalu melakukan sosialisasi, tapi itu tidak cukup hanya sampai di sini,” ungkap Ratna.
Ketua Srikandi Telkom Group, Justi Ariesthiawati sepakat terkait pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kerja, selain juga memastikan alur pengaduan dan pemulihan bagi korban.
PT Telkom yang meraih penghargaan Gender Inclusive Workplace pun telah melakukan berbagai langkah untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan ramah bagi pekerja, terutama perempuan, mulai dari menanamkan core values hingga adanya aturan disiplin karyawan yang kuat.
“Membuat seseorang yang mungkin punya niat akhirnya mengurungkan niat itu ataupun yang sudah berbuat terkena efek jeranya. Terkait dengan karier, ketika seseorang melakukan kekerasan, ini akan berdampak pada penurunan (karier). Selain itu, ada hak yang hilang untuk waktu tertentu, seperti tidak bisa dipromosikan, tidak bisa mengikuti program pengembangan, apalagi mendapatkan penghargaan,” tutur Justi.
Di sisi lain, Eksekutif Direktur Bullyid Indonesia, Agita Pasaribu mengatakan, terdapat tiga hal penting yang perlu dibangun dalam sistem pelaporan korban kekerasan, terutama bagi perempuan bekerja. Pertama, perlu dibangunnya kultur agar korban dan saksi berani untuk melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya di lingkungan kerja.
“Kulturnya dulu yang dibangun, speak up ini bukan hanya untuk korban, tapi juga dari bystander (saksi) yang mau jadi upstander (pembela). Kemudian, bagaimana caranya orang merasa nyaman ketika melapor, seperti adanya sistem anonymous. Terakhir, karena saat ini kita bekerja dari rumah, bagaimana pelaporan ini bisa diakses secara online,” tutup Agita.
ET, seorang penyintas yang pernah mengalami pelecehan di tempat kerja dan tidak mendapatkan dukungan dari rekan-rekan kerjanya berpesan, agar para pekerja, khususnya perempuan dapat terus kuat dan berdaya dalam berbagai kondisi yang ada. “Kita sebagai perempuan tidak bisa memaksa stigma orang lain kepada kita untuk berubah, tetapi kita bisa mengubah diri kita untuk menjadi lebih kuat,” tutur ET.
Sementara itu, Kreator dan Founder Kacamata Universe yang juga merupakan penyintas kekerasan di tempat kerja, Androdia Lazulda menciptakan karakter anti-bullying pertama di Indonesia, yaitu Agen Culun untuk membantu korban perundungan bangkit dari keterpurukan melalui platform sosial media. “Ingat bahwa kita lebih dari sekadar keluarga,” tutup Androdia. (usm)