Jakarta (pilar.id) – Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 5 Juni. Namun, para aktivis lingkungan hidup, terutama dari kalangan perempuan, ternyata masih mengalami kekerasan.
Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Arie Kurniawaty mengatakan, ancaman terhadap perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup cenderung naik signifikan. Tidak hanya kriminalisasi dan kekerasan, bahkan di beberapa kasus terjadi pelecehan seksual.
“Dan intimidasi yang dilakukan terhadap para pembela HAM dan melakukan aksi pembelaan terhadap tanah wilayah dan lingkungannya,” kata Arie, di Jakarta, Selasa (7/6/2022).
Menurut Arie, perempuan dan laki-laki sama-sama mengalami dampak yang buruk dari aktifitas pertambangan dan industri ekstraktif lainnya. Namun, perempuan sebenarnya mengalami dampak yang lebih berat akibat industri tersebut.
Hal itu dikarenakan perempuan memiliki peran gender yang dilekatkan pada peran pengasuhan keluarga. Sehingga kerusakan lingkungan, maupun hilangnya sumber kehidupan akan meningkatkan beban kerja perempuan.
“Misalnya menyediakan pangan dan air yang bersih, untuk keluarga maupun untuk komunitasnya,” kata Arie.
Arie menyoroti dalam proses pengambilan keputusan untuk proyek pertambangan misalnya, perempuan seringkali dikecualikan. Hal itu karena dianggap sudah cukup diwakili oleh suami atau siapa pun yang menjadi kepala keluarga.
“Ketika ada konsultasi masyarakat, biasanya perusahaan itu hanya berkonsultasi dengan pimpinan-pimpinan tradisional tentang rencana yang diusulkan,” jelas Arie.
Kriminalisasi terhadap perempuan juga seringkali terjadi yang bertujuan untuk mematikan perlawanan. Arie memandang, hal itu merupakan salah satu bentuk represif negara dengan memanfaatkan sistem hukum untuk menghalau pembela HAM dan lingkungan.
Ditambahkan Arie, kriminalisasi pembela HAM ini merupakan strategi politik yang berusaha mendelegitimasi perjuangan HAM dan mengurangi dukungan publik terhadap perjuangan mereka. “Tuntutannya itu macam-macam, ya dianggap pemberontakan, mengganggu ketertiban umum, menghalangi publik, sampai kemarahan terhadap simbol negara, membakar uang misalnya,” sambung Arie.
Berdasarkan kasus yang pernah terjadi, kriminalisasi perempuan sampai dengan pemenjaraan dapat menyebabkan gangguan psikis hingga sistem reproduksi. “Pemenjaraan yang dialami itu menimbulkan ketakutan dan stres tersendiri, karena pikirannya macam-macam. Gimana nih anak-anak sekolah,” tandas Arie. (ach/hdl)