Jakarta (pilar.id) – Komisi Yudisial (KY) menyatakan, beberapa delik terkait peradilan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) perlu disesuaikan.
Sebelumnya telah memenuhi undangan Tim Perumus RKUHP dari Pemerintah dalam kegiatan sosialisasi dan konsultasi publik pada Agustus dan September 2022. Tim Pemerintah menyatakan membuka diri terhadap berbagai masukan, termasuk dari KY. Pada 24 Oktober 2022, KY sudah menyampaikan masukan tertulis secara resmi kepada Tim Perumus RKUHP.
“Sikap KY disusun dengan dasar kewenangan konstitusional KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, khususnya pada tugas-tugas yang diberikan oleh UU KY dan UU terkait bidang peradilan,” kata Anggota KY sekaligus Ketua Bidang SDM, Hukum, Advokasi, Penelitian, dan Pengembangan, Binziad Kadafi, Selasa (15/11/2022).
Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut, dia menegaskan, KY berprinsip bahwa pertama, perilaku hakim harus diawasi, agar independensi, imparsialitas, dan akuntabilitasnya dalam memeriksa dan memutus perkara bisa dipastikan.
Kedua, kebebasan hakim dalam memberi keadilan bagi pihak-pihak berperkara harus dilindungi, agar hakim dapat memeriksa dan memutus perkara tanpa ancaman dan tekanan.
Ketiga, perlindungan terhadap hakim harus berjalan beriringan dengan prinsip transparansi, judicial control, dan kebebasan menyatakan pendapat. Keempat, pengadilan Indonesia perlu terus bertransformasi menjadi modern di antaranya dengan menerapkan sistem peradilan elektronik atau e-court.
“Atas berbagai pertimbangan di atas, KY mengkritisi dan memberi masukan terhadap Pasal 280 (di draf 9 November 2022 menjadi Pasal 278) dan Pasal 281 (di draf 9 November 2022 menjadi Pasal 279) RKUHP,” ujarnya.
KY mengusulkan rumusan baru Pasal 278 huruf a RKUHP yakni, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung tidak mematuhi perintah hakim ketua sidang yang dikeluarkan untuk menegakkan Tata Tertib Persidangan padahal telah diperingatkan sebelumnya secara terang dan jelas paling sedikit sebanyak dua kali.
“Yang dimaksud dengan Tata Tertib Persidangan adalah berbagai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara maupun yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan dilaksanakan melalui perintah hakim ketua sidang mengenai perilaku setiap orang yang hadir di persidangan,” kata dia.
Selain itu, KY mengusulkan agar Pasal 278 huruf b RKUHP dihapus karena sudah tercakup tujuannya maupun normanya dalam rumusan baru Pasal 278 huruf a yang direkomendasikan di atas.
Terhadap Pasal 278 huruf c RKUHP. Pasal ini mengatur soal perekaman sidang, di mana selama ini hasil rekamannya dapat menjadi dasar kuat bagi KY dalam menindaklanjuti dan memutus ada tidaknya pelanggaran KEPPH ketika ada laporan masyarakat. Sumber rekaman bisa dari KY sendiri melalui kegiatan pemantauan, atau pelapor yang mengikuti langsung jalannya persidangan, atau dari pengadilan.
Menurut KY, tidak ada unsur ketercelaan dari kegiatan perekaman sidang pengadilan sehingga harus dikriminalisasi. Sebab kepentingan akhir yang harus dilindungi adalah ketertiban dan kelancaran persidangan, serta integritas pembuktian, selain keterbukaan sidang untuk umum. Di mana hal ini menjadi kewenangan hakim ketua sidang untuk menjaganya.
Biarkan hakim ketua sidang yang menentukan apakah sidang bisa direkam atau dipublikasikan, dengan mengacu pada Tata Tertib Persidangan, serta kebutuhan secara situasional apakah kegiatan perekaman dan publikasi sidang memang dapat mengganggu ketertiban dan kelancaran persidangan atau menciderai integritas proses pembuktian.
Apalagi aktivitas perekaman dan publikasi tidak akan bisa dihindarkan dalam sistem peradilan elektronik (e-court) yang sedang digalakkan oleh MA dan berbagai pengadilan sendiri. Untuk itu, Pasal 278 huruf c RKUHP kami usulkan dihapus, karena bisa diakomodasi tujuannya maupun normanya dalam rumusan Pasal 278 huruf a baru yang kami rekomendasikan di atas.
Terhadap Pasal 279 ayat (1) RKUHP yang berisi barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan di mana hakim sedang menjalankan tugasnya yang sah sehingga timbul gangguan terhadap jalannya sidang pengadilan dimaksud, dan tidak pergi sesudah diperintah tiga kali oleh atau atas nama hakim ketua sidang, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
“Terhadap Pasal 279 ayat (2) RKUHP, soal kegaduhan di luar sidang sebaiknya dihapus dan diatasi dengan mengetatkan protokol persidangan dan keamanan di lingkungan pengadilan,” kata Binziad. (her/hdl)