Yogyakarta (pilar.id) – Kesenjangan pendidikan di Indonesia masih terus berlangsung hingga saat ini. Fasilitas dan sarana yang memadai belum mampu menjangkau banyak sekolah di kawasan pelosok maupun daerah perbatasan. Pandemi pun kian memperlebar kesenjangan pendidikan antara kota dan desa.
Salah satunya yakni di MI Yappi Purwo, Desa Karangsari, Semin, Gunung Kidul. Madrasah tersebut terletak di perbatasan antara Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tepatnya hanya berjarak 2 kilometer dengan Kabupaten Wonogiri.
Ketiadaan akses internet di daerah tersebut, membuat proses pembelajaran daring (dalam jaringan) tak dapat dilaksanakan. Sistem luring (luar jaringan) akhirnya dipilih meski masih berada di tengah kondisi pandemi.
“Kendalanya akses internet tidak ada, Kalau mau daring anak-anak harus nyari tempat sinyal yang ada. Jadi nggak di dalam rumah,” ujar Sukamto, Kepala Sekolah MI Yappi Purwo.
Selain terkendala akses internet, pembelajaran daring tak dipilih sebab minimnya pendampingan oleh wali siswa. Para wali yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan pedagang, mesti tetap bekerja demi menyambung penghidupan. Akibatnya, tak jarang anak-anak ditinggal di rumah atau dititipkan ke tetangga.
Menurut Yunita, salah seorang guru, ia harus menitipkan salah satu siswa ke tetangganya untuk mendampingi proses pembelajaran daring. Hal tersebut dilakukan lantaran orangtua siswa berada di Jakarta untuk bekerja, sedang anaknya ditinggal bersama kakek dan neneknya.
Beragam metode pembelajaran telah dicoba oleh pihak Madrasah. Terakhir, sebelum akhirnya memilih metode full luring, mereka sempat mengajar dengan mengunjungi rumah masing-masing siswa.
“Pernah itu, satu bulan. Tapi tidak satu minggunya full. Hanya Senin sama Kamis. Itupun terbatas satu guru dua anak,” ungkap Sukamto. Kemudian para guru biasa melakukan kegiatan mengajar di teras rumah selama setengah hingga satu jam.
Pemerintah sebenarnya sudah memberi fasilitas kuota internet gratis bagi siswa untuk membantu proses pembelajaran secara daring. Namun, hal tersebut dinilai tak dapat menyelesaikan masalah yang dialami MI Yappi Purwo.
“Nggak fungsi, kecuali kuota itu berbentuk jaringan internet. Jadi kalau mau bantu sekolahan itu mestinya tower internet,“ sanggah Sukamto. Mengingat lanskap MI Purwo yang berada di atas perbukitan dan dikelilingi oleh hutan jati.
Kini, meski proses belajar sudah full menggunakan sistem luring, tak menutup kemungkinan sistem belajar MI Purwo akan berubah kembali. Mengingat kondisi pandemi yang terus menerus berubah. Terpenting, harapannya siswa tetap bisa belajar dalam kondisi apapun.
”Yang kita kejar adalah, bahwa sedikitpun yang kita sampaikan, anak itu tetap bisa belajar,” tutup Sukamto. (fir/hdl)