Jakarta (pilar.id) – Sebagai langkah tindak lanjut dari naiknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) telah memanggil beberapa pihak untuk dimintai keterangan. Hingga Senin, 19 April, KPPU telah memangil 11 pihak.
Mereka adalah 6 produsen minyak goreng, 3 pengemas minyak goreng, dan 2 distributor. Namun, tidak semua pihak tersebut hadir di waktu yang telah ditentukan.
Hanya ada tiga pihak yang menghadiri panggilan KPPU. Satu dari produsen, satu dari pengemas dan satu dari distributor. Untuk itu, KPPU meminta bantuan pada aparat kepolisian untuk memanggil ulang pelaku usaha terkait kenaikan harga minyak goreng tersebut.
“Oleh karena itu kami akan jadwal ulang pemanggilan-nya. Mereka tidak hadir karena berbagai alasan. Makanya kami akan panggil ulang,” ujar Ketua KPPU Ukay Karyadi di Surabaya, Selasa (19/4/2022).
Ukay menegaskan, jika pada pemanggilan kedua tidak mengindahkan panggilan, KPPU akan meminta bantuan polisi untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.
“Bahkan kami juga akan ungkap identitas pelaku-pelaku usaha itu yang terintegrasi dalam kelompok-kelompok usaha,” ucapnya.
Ukay mengatakan, dari beberapa kelompok usaha diduga adanya kartel minyak goreng. Hal itu dilihat dari kejadian selama ini dimana minyak goreng harganya mulai naik secara signifikan sejak Oktober 2021.
Ukay menjelaskan pelaku usaha minyak goreng ini tidak banyak, dan mereka tergabung dalam delapan kelompok besar yang menguasai 70 persen pasar minyak goreng di Indonesia.
Delapan kelompok usaha ini sangat terintegrasi mulai hulu hingga hilir. Dan mereka memproduksi merek-merek yang ada di pasaran dan dikenal masyarakat luas.
“Mereka itu semuanya punya kebun kelapa sawit sendiri, seakan mereka sudah berkoordinasi untuk menaikkan harga ini,” jelas Ukay.
Karena itu, kata dia, untuk kasus ini KPPU akan mengenakan tiga pasal di Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tiga pasal itu, yakni pasal 5 ayat 1 terkait dengan penetapan harga, pasal 11 terkait kartel dan pasal 19 huruf C terkait pembatasan peredaran.
“Tiga pasal itu untuk kasus nasional, sementara di daerah-daerah ada kasus yang berkaitan dengan pembelian bersyarat,” tutur Ukay. (fat)