Jakarta (pilar.id) – Siapa tak kenal nama Sapardi Djoko Damono, penyair Indonesia berkaliber dunia. Sajak-sajaknya banyak dikutip untuk dijadikan status di media sosial. Sebut saja ‘Aku Ingin’, yang menggambarkan betapa sederhananya cinta Sapardi. Kemudian karya legendaris Sapardi ‘Hujan Bulan Juni’ yang telah bertransformasi menjadi novel dan film layar lebar.
Namun, kehidupan Sapardi tak sesederhana puisi-puisi yang diciptakannya. Masa kecil Sapardi, kehidupan yang berkecukupan berganti menjadi kekurangan. Kakeknya merupakan seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Solo, Jawa Tengah dan memiliki keahlian menatah wayang kulit.
Ayah Sapardi Sadyoko, mulanya mengikuti jejak kakek Sapardi menjadi abdi dalem kraton. Namun, setelah menikah, Sadyoko memutuskan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Ibunya Sapariah, yang sama-sama lahir di bulan yang sama dengan Sapardi, yaitu bulan Sapar dalam kalender Jawa itu menuturkan, hidupnya menjadi kian berat saat pendudukan Jepang. Begitu juga masa-masa kemerdekaan Indonesia, kehidupan keluarga Sapardi tak lebih baik. Hal ini rupanya menjadi inspirasi Sapardi dalam menciptakan karya-karya fenomenal.
Sapardi pernah membuat sebuah cerita tentang kisah hidupnya di masa kecil. Sayangnya, cerita tersebut ditolak Subagio Imam Notodidjojo (SIN), redaktur di majalah Taman Putra. Kala itu, Sapardi masih remaja. Sedangkan majalah ini memang dikhususkan untuk anak-anak. Namun, kisah nyata Supardi dianggap tidak masuk akal.
Setelah ditelusuri, rupanya dalam kisah berbahasa Jawa tersebut mengungkap Sapardi yang pernah memiliki ibu tiri. Dalam cerita tersebut disebutkan, ibu Sapardi rela dan ikhlas suaminya direbut oleh orang lain. Di sinilah letak kebesaran dan keagungan Sapariah.
“Biarkan saja ayahmu. Nanti kalau sudah waras akan kembali pulang,” tutur Sapariah, sebagai dikutip dari buku ‘Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya’, dikutip Senin (20/3/2023).
Tampaknya, penolakan karyanya tersebut tidak hanya membuat Sapardi bergeming, tetapi juga menumbuhkan sikap yang membuat kematangan pandangannya. Ini sekaligus menjadi penggerak penulisan karyanya, terutama puisi.
Sapardi sadar, sajak dan ceritanya tak bisa menopang kehidupannya. Namun, hal yang paling membahagiakannya dengan karya-karyanya tersebut dirinya bisa melanglang buana. Asal tahu saja, pria kelahiran 20 Maret 1940 ini pernah menjadi dosen pengajar di Madiun, Solo, dan Semarang. Bahkan ia sempat mengajar di Amerika Serikat.
Selain itu, mungkin yang paling membahagiakan Sapardi tatkala Perdana Menteri India Narasimha Rao pernah mengutip sajaknya yang berjudul ‘Pilgrimage’ terjemahan puisi ‘Ziarah’ dalam suatu pidato di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok. (ach/din)