Jakarta (pilar.id) – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan di Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang menyatakan menteri atau pejabat setingkat menteri harus mundur ketika mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres. Putusan tercatat dalam perkara nomor 68/PUU-XX/2022.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati manilai, seharusnya menteri yang maju sebagai calon presiden (capres) harus mengundurkan diri. Jika tak mengundurkan diri, malah bisa mengganggu kerja presiden.
“Sebab, menteri merupakan pembantu presiden yang bertugas menyukseskan program-program pemerintah,” kata Khoirunnisa saat dikonfirmasi, Rabu (2/11/2022).
Putusan MK mengubah aturan pada pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017. Sebelumnya, pejabat negara yang dikecualikan mundur jika maju jadi capres atau cawapres, yaitu presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.
Pada putusan perkara ini, MK menambahkan jabatan yang dikecualikan. MK memasukkan menteri sebagai pejabat negara yang tak perlu mundur saat maju jadi capres atau cawapres.
Menurut Khoirunnisa, hilangnya ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Para menteri yang maju sebagai capres bisa menjadikan program kementerian sebagai ajang promosi dirinya sendiri.
“Di sisi yang lain, penunjukan menteri adalah hak prerogratif presiden sebagai pembantu presiden,” kata dia.
Oleh sebab itu, dia menegaskan, sudah seharusnya para menteri yang maju sebagai capres tetap mundur meski diperbolehkan secara UU. Sebab, hal ini menyangkut etika dalam bernegara.
Apalagi, lanjutnya, jabatan menteri berbeda dengan jabatan politik lain yang diputuskan atas persetujuan bersama antara presiden dan DPR. “Karena menteri ini adalah pembantu presiden, maka sepenuh waktunya harus digunakan untuk menyukseskan program pemerintah,” ujar Khoirunnisa. (her/hdl)