Jakarta (pilar.id) – Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengapresiasi langkah dan itikad Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan Irjen Pol Ferdy Sambo dari jabatannya Kadiv Propam, terlepas terlambat atau tidaknya Polri menangani kasus ini.
Namun, kata Khairul, keseriusan Polri dalam menangani kasus ini tidak cukup hanya pada penonaktifan Ferdy Sambo. Hal itu untuk menepis kesan penonaktifan Ferdy Sambo dilakukan karena adanya tekanan publik dan politik. Keputusan menonaktifkan sementara Ferdy Sambo harus bersifat ‘pro justicia’ dan berdasar profesionalisme.
Menurut dia, alangkah baiknya juga jika penonaktifan Ferdy Sambo itu dilanjutkan dengan serangkaian langkah di internal Polri. Kapolri juga harus membebastugaskan sejumlah pejabat dan perwira Polri lainnya untuk mendalami peran dan andil mereka dalam hal kebijakan ‘penundaan’ pengungkapan peristiwa tewasnya Brigadir J.
“Misalnya sejumlah pejabat di jajaran Divisi Propam Polri hingga Kapolres Metro Jakarta Selatan. Upaya penundaan pengungkapan kasus ini memicu spekulasi dan reaksi negatif yang mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi Polri,” kata Khairul kepada Pilar.id, Selasa (19/7/2022).
Menurutnya, motif Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran yang dipublikasikan mengunjungi Ferdy Sambo, juga perlu diklarifikasi. Mengingat, Ferdy Sambo adalah salah satu pihak terkait dalam kasus tewasnya Brigadir J yang belum jelas duduk perkaranya dan telah menjadi atensi publik.
Kata dia, kasus tewasnya Brigadir J memang memerlukan penanganan serius, cermat, dan perlu kehati-hatian. Oleh karena itu, pengungkapannya tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa, tetapi bukan berarti memperlambat.
Data-data yang disampaikan oleh pihak keluarga mestinya bisa menjadi informasi awal untuk mengembangkan penyelidikan. Namun jika pihak keluarga merasa tidak puas, bisa saja hal itu digunakan sebagai dasar untuk meminta penelitian forensik yang independen sebagai opini pembanding.
Soal apakah Brigadir J dieksekusi, menurut Khairul, itu spekulatif. Tanpa bukti dan keterangan yang cukup, hal itu hanya sebatas praduga dan tak bisa menjadi kesimpulan,” ujarnya.
Ia mengira, kendala terbesar penanganan perkara ini adalah itikad baik Polri. Sesuai komitmen Kapolri, ia berharap Polri berpegang teguh pada profesionalismenya dengan menegakkan hukum tanpa pandang bulu, transparan dan berkeadilan.
Maka dari itu, kata dia, Polri juga perlu memahami bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan hanya ketepatan dan kecermatan, tapi juga kecepatan. Jangan sampai anggapan bahwa Polri melakukan pengungkapan dan penanganan perkara karena adanya tekanan publik dan politik terus berulang.
Untuk memperbaiki situasi agar prasangka tak meluas, meningkatkan ketidakpercayaan publik dan memperburuk citra Polri, maka perkembangan penyelidikan oleh tim khusus juga perlu diinformasikan secara berkala.
“Misalnya dengan mengumumkan penonaktifan Irjen Pol Ferdy Sambo hari ini,” kata dia.
Brigadir J ditembak mati Bharada E, yang juga merupakan ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo pada Jumat (8/7/2022) sore. Keterangan polisi, Brigadir J menembak terlebih dahulu ke arah Bharada E. Tembakan Brigadir J itu dianggap membahayakan Bharada E.
Berdasarkan penyelidikan sementara, peristiwa ini bermula dari adanya teriakan minta tolong oleh Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, dari kamarnya yang mengaku dilecehkan dan ditodong pistol kepalanya oleh Brigadir J.
Bharada E yang mendengar teriakan Putri dari lantai dua rumah, bergegas ke sumber suara dan mendapati Brigadir J di depan pintu kamar Putri. Bharada E kemudian bertanya mengenai apa yang terjadi kepada Brigadir J. Namun, pertanyaan tersebut dibalas tembakan, sehingga baku tembak terjadi dan akhirnya Brigadir J tewas dengan tujuh luka tembak.
Pascakematian Brigadir J, timbul banyak pertanyaan dari keluarga dan masyarakat. Isinya keraguan dan merasa janggal terhadap peristiwa tersebut. (her/din)