Surabaya (pilar.id) – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kampanye politik di lingkungan kampus telah mengundang perbincangan sengit di kalangan masyarakat. Terutama menjelang pemilu 2024, kampus diidentifikasi sebagai arena potensial untuk meraih dukungan dari pemilih muda.
Irfa’i Afham SIP MSc, seorang dosen Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) mengatakan, kampanye politik di kampus sebagai cerminan dari dinamika politik yang tidak dapat dihindari.
“Saya sependapat dengan kehidupan politik yang dinamis di lingkungan kampus karena kampus adalah tempat kelahiran gagasan-gagasan politik besar dan alternatif dalam konteks kebangsaan dan negara,” ungkap Irfa’i.
Namun, dalam pandangannya, ia menekankan perlunya mempertimbangkan aspek praktis jangka pendek. “Batasan yang diperlukan adalah bagaimana lembaga pendidikan dapat tetap menjaga diri dari campur tangan dalam politik praktis yang hanya fokus pada kemenangan dalam pemilu. Namun, seharusnya juga memiliki pandangan yang lebih luas yang terkait dengan semangat nasionalisme,” tambahnya.
Irfa’i juga menekankan pentingnya etika dalam menjalankan kampanye politik di kampus, terutama dalam menyasar generasi muda. “Agenda anti-korupsi seharusnya menjadi hal yang utama dalam memperkuat budaya politik di kalangan mahasiswa, yang melibatkan pembentukan karakter yang toleran dan demokratis,” ujar Irfa’i.
Sebagai seorang akademisi, Irfa’i juga mengakui pentingnya memahami sejarah yang telah membentuk kondisi politik kampus saat ini. Ia membahas pengaruh masa otoritarian di Indonesia terhadap partisipasi politik di kampus.
“Kita telah mengalami 32 tahun era otoritarian di bawah pemerintahan Soeharto. Dampaknya adalah minimnya keterlibatan politik di kampus. Mahasiswa dan dosen yang mengemukakan pandangan kritis sering dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai sumber potensial untuk mengembangkan gagasan-gagasan besar dalam politik,” tegas Irfa’i.
Tentang dampak yang mungkin muncul, Irfa’i mengamati adanya potensi baik dan buruk. “Saya berpendapat bahwa beberapa pemilu terakhir yang telah mencuatkan isu intoleransi akan terus dikenang dalam ingatan bangsa, termasuk di kalangan pelajar. Di sinilah peran pihak akademik sangat penting dalam menetapkan batasan dan sanksi yang jelas,” paparnya.
Pengalaman studi Irfa’i di Eropa menjadi poin menarik dalam wawancara ini. Ia menjelaskan bagaimana dialog antara mahasiswa dan pelaku politik di Eropa telah membentuk budaya kritis yang sehat.
“Saat saya belajar di Eropa, khususnya di Prancis, saya menyaksikan suasana politik yang dinamis di mana mahasiswa, calon legislator, calon kepala daerah, dan calon presiden terlibat dalam diskusi mengenai gagasan-gagasan. Hal ini memiliki relevansi besar dalam membangun budaya kritis di kalangan mahasiswa,” jelasnya.
Terkait dengan regulasi, Irfa’i berpendapat bahwa peran pemerintah dan lembaga pengawas memiliki peranan yang sangat penting.
“Dalam menghadapi situasi ini, kampus-kampus yang memiliki otonomi perlu merumuskan peraturan yang dapat mengayomi sehingga aktivitas politik di kampus tetap berjalan dengan sehat. Dengan mengambil tindakan yang bijaksana, keputusan MK ini bisa menjadi kesempatan untuk membangun politik yang lebih dinamis setelah lebih dari dua dekade masa reformasi,” tambahnya. (ipl/hdl)