Jakarta (pilar.id) – Bank Indonesia mencatat, utang luar negeri (ULN) pemerintah pada akhir Mei 2022 tercatat sebesar 406,3 miliar dolar AS. Posisi ULN pemerintah tersebut turun dibandingkan dengan pada bulan sebelumnya sebesar 410,1 miliar dolar AS.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, ULN pemerintah memang mengalami penurunan, namun sifatnya relatif temporer. Karena penurunan utang semata-mata karena ada kenaikan harga komoditas sehingga mendorong penerimaan negara.
“Bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sempat mengalami surplus bulan Mei itu Rp130 triliun semata-mata karena ada kenaikan harga komoditas,” kata Bhima, di Jakarta, Jumat (15/7/2022).
Kenaikan harga komoditas crude palm oil (CPO), batubara, dan nikel menyumbang penerimaan atau windfall Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) cukup besar. Namun, yang jadi pertanyaan adalah dengan tingkat risiko krisis ataupun resesi ekonomi global beberapa harga komoditas ini mulai berbalik arah.
“CPO itu sudah mulai koreksi nih, CPO itu penurunannya 35% dalam 1 bulan terakhir, kemudian komoditas lainnya nikel terjadi juga dia koreksi harga yang cukup dalam, 17% dalam sebulan terakhir,” jelas Bhima.
Menurut Bhima, harga komoditas yang mulai turun terjadi karena kekhawatiran adanya resesi ekonomi. Dampaknya, permintaan komoditas global juga akan turun. Penurunan tersebut nantinya akan mempengaruhi kualitas dari penerimaan negara. “Ujungnya adalah untuk menambal defisit,” kata dia.
Di saat yang bersamaan, ada belanja penyelenggaraan pemilu, proyek-proyek mercusuar Ibu Kota Nusantara (IKN), serta infrastruktur proyek strategis nasional yang ingin dikebut selesai sebelum 2024. Kemudian ada pembengkakan subsidi dana kompensasi yang diproyeksi mencapai Rp600 triliun.
“Itu semua pastinya akan mendorong pemerintah untuk melakukan pinjaman baru,” kata Bhima.
Masalahnya, lanjut Bhima, tantangannya adalah selisih nilai kurs akibat pelemaha rupiah serta tingkat suku bunga yang naik di berbagai negara bisa mendorong bunga pinjaman baru lebih mahal. Beban-beban tersebut akan membuat ruang fiskal yang tadinya sedikit lebar karena bantuan dari penerimaan komoditas bisa menyempit.
Karena itu, Bhima menyarankan pemerintah tetap perlu mewaspadai utang. Memang, kata dia, rasio utang masih jauh dibandingkan dengan ketentuan UU No.1/2003 tentang Keuangan Negara, yang maksimum 60%. “Sekarang masih di bawah itu tapi beban bunga utang ini yang akan menyandra dan akan semakin berat saat 2024 nanti,” kata dia.
Untuk diketahui, dukungan ULN pemerintah dalam memenuhi kebutuhan belanja prioritas hingga bulan Mei 2022 antara lain mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,5% dari total ULN pemerintah), sektor jasa pendidikan (16,5%), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,1%), sektor konstruksi (14,3%), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (11,8%).
BI mengklaim, posisi ULN pemerintah relatif aman dan terkendali jika dilihat dari sisi refinancing risk jangka pendek, mengingat hampir seluruhnya merupakan ULN dalam jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,8% dari total ULN pemerintah. (Ach/din)