Jakarta (pilar.id) – Beberapa hari ke belakang, isu terkait reshuffle Kabinet Indonesia Maju (KIM) di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali menyeruak. Terutama akibat dari kegiatan beberapa menteri yang dianggap terlalu aktif di urusan politik menuju Pemilu 2024. Sehingga, banya pihak yang menuntut agar Presiden segera melakukan reshuffle.
Namun, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, Presiden Jokowi tidak cukup hanya melakukan reshuffle. Melainkan harus ada pembaharuan nomenklatur dan struktur pos kementerian.
Sebab menurut Bhima, jumlah pos kementerian yang mencapai 34 pos dinilai terlalu banyak. Sehingga perlu adanya penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan pemerintah saat ini.
“Khususnya menteri di bidang ekonomi ini mungkin nggak terlalu banyak harusnya,” kata Bhima, di Jakarta, Sabtu (11/6/2022).
Ia menyindir, kewenangan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Merves) Luhut Binsar Pandjaitan yang seolah bisa mengatasi semua masalah. Menurut Bhima, hal itu disebabkan karena kementerian teknis dinilai gagal sehingga diambil alih oleh ‘menteri serba guna’.
“Satu Menko Marves saja bisa meng-cover banyak sekali isu dan kebijakan ekonomi yang belum selesai,” kata Bhima.
Bima mengatakan, kabinet tidak perlu gemuk. Sehingga, kinerja menteri dapat lebih efektif dan dapat membantu Presiden Joko Widodo menghadapi persoalan bangsa yang tengah dihadapi saat ini.
Dia mencontohkan, persoalan minyak goreng yang berlarut-larut hingga saat ini, misalnya. Padahal persoalan minyak goreng merupakan domain Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi yang merupakan hasil reshufle dari penjabat sebelumnya Agus Suparmanto. Lutfi sendiri pernah menjabat sebagai Mendag pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Oh ya Menteri Perdagangan (hasil reshufle), tapi terbukti kan masalah minyak goreng saja belum selesai,” kata Bhima.
Soal minyak goreng, lanjut Bhima, semakin lama menjadi tidak tertangani dengan baik. Padahal, semakin banyak pula yang terlibat di dalamnya. Selain Kemendag, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang juga ikut terlibat penanganan soal minyak goreng namun malah tidak jelas juntrungannya.
“Koordinasi, khususnya di bagian perekomian ini banyak catatan soal masalah koordinasi yang tidak singkron,” tandas Bhima. (ach/fat)