Jakarta (pilar.id) – Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi penanggung jawab masalah minyak goreng di Pulau Jawa dan Bali. Penunjukan tersebut menambah sederet jabatan Luhut di pemerintahan.
Pakar Kebijakan Publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mengatakan, penugasan kepada Luhut ini menjadi indikator bahwa presiden tidak percaya kinerja Menteri Perdagangan (Mendag) saat ini. Jika kondisinya seperti ini, sebaiknya presiden segera melakukan reshuffle kabinet.
“Tidak hanya Mendag, para menteri yang sudah tidak fokus bekerja dan memilih fokus kepada kampanye capres sebaiknya direshuffle juga,” kata Achmad, Rabu (25/5/2022).
Menurut dia, kabinet pemerintahan Jokowi di tahun 2022 sudah tidak efektif lagi untuk disebut sebagai kabinet kerja. Ini menjadi sebuah peringatan kepada Presiden Jokowi, jika menterinya tidak fokus kerja dan tidak percaya kepada menteri tersebut, maka lebih baik diganti.
Apabila tidak, maka presiden melakukan pekerjaan yang sia-sia dengan menempatkan orang di posisi menteri tapi tidak bekerja dengan baik dan dibiarkan saja, kemudian malah menunjuk orang lain untuk mengerjakan tugas menteri tersebut.
“Jokowi perlu memilih orang tepat yang berani menyelesaikan masalah daripada melakukan sekedar jadi Menteri untuk pencitraan 2024. Menteri yang tidak berkinerja baik akan merusak reputasi presiden secara umum sehingga untuk apa dipertahankan menteri dengan kinerja yang buruk itu,” tegasnya.
Di satu sisi, dia meragukan penunjukan Luhut tersebut. Menurut dia, Luhut tidak akan mampu membawa minyak goreng curah ke level Rp11.500 per liter sebagaimana harga eceran tertinggi (HET) di awal Februari 2022 lalu. Paking tidak, kata dia,ada dua alasan kenapa Luhut tidak akan mampu mengatasi mahalnya harta minyak goreng.
Pertama, Luhut tidak independen dari para pengusaha minyak nabati tersebut. Beberapa tersangka kejagung seperti Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia MPT, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) SM, dan General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas PTS diakui memiliki kedekatan khusus dengan Luhut.
Ketiga tersangka disebutkan di media sosial memiliki hubungan khusus dengan Luhut, khususnya saudara MPT, Komisaris Wilmar yang kabarnya memiliki kursi khusus di kantor Kemenko Marves.
“Ketidakindependenan Luhut menyebabkan dia akan mempertimbangan kepentingan dan keuntungan para pengusaha sawit, sehingga tidak mungkin minyak goreng curah kembali ke level Rp11.500 per liter seperti pada Februari 2022 lalu,” kata dia.
Menurut dia, pengusaha sawit menginginkan harga minyak goreng curah di level sekarang atau sekitar Rp16.900 per liter dan minyak goreng kemasan sekitar Rp24.000-Rp25.000 ribu per liter. Bila Luhut independen maka sangat mungkin menggunakan unsur “sanction” kepada pengusaha sawit tersebut demi kepentingan publik banyak.
“Pertanyaan utamanya apakah Luhut bisa mengabaikan para pengusaha tersebut?” ujarnya.
Alasan kedua adalah rantai distribusi minyak goreng yang terlalu kompleks untuk disimplifikasi. Para distributor minyak goreng senang menjual minyak goreng dengan harga tinggi sehingga para distributor enggan menjualnya ke pasar curah dan lebih memilih ke pasar kemasan dan premium.
Oleh karena itu, pendekatan pasar tidak akan berhasil karena terdapat market failure sehingga pemerintah harus melakukan intervention (campur tangan) terhadap market failure tersebut.
Maka dari itu, kata Achmad, ada tiga langkah yang perlu dilakukan Luhut bila ingin berhasil mengurus masalah minyak goreng di Pulau Jawa dan Bali. Luhut dan pemerintah akan berhasil kembalikan harga monyak goreng ke level Rp11.500 per liter manakala menugaskan BUMN untuk menjadi produsen minyak goreng. Maka hal itu akan membawa harga minyak goreng ke level yang diinginkan oleh pemerintah tersebut.
Selama produsen minyak goreng terbesar dimiliki oleh swasta, selama itu pula minyak goreng tidak akan berhasil ke level Rp11.500 per liter sebagaimana yang diinginkan oleh pemerintah.
Langkah kedua adalah memberikan tugas Badan Pangan Nasional untuk memasukan komoditas minyak goreng sebagai komoditas pantauannya sehingga Badan Pangan Nasional memiliki minyak goreng sebagai cadangan yang akan dikeluarkan manakala harganya sudah melampaui harga yang ditetapkan.
Langkah ketiga adalah secara perlahan memberlakukan satu harga dasar untuk minyak goreng, sehingga harga dipasaran dibedakan dari cangkangnya saja (kemasannya premiun atau kemasan curah) bukan dari isi minyak gorengnya.
Jenis minyak goreng baik curah maupun kemasan harus sama yaitu minyak goreng dengan kualitas standar yang memiliki harga yang sama. Saat ini sangat beda, kualitas minyak goreng curah saat ini adalah tipe grade bawah jika dibandingkan dengan minyak goreng kemasan di supermarket.
“Patut diingat bahwa ketiga langkah tersebut akan berhasil manakala pemerintah menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan oligarki. Berani menempatkan harga terbaik untuk kebaikan publik bukan sekedar keuntungan pebisnis produsen minyak goreng,” tutupnya. (her/fat)