Pidie (pilar.id) – Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa luka yang diderita oleh keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu harus segera disembuhkan, agar Indonesia dapat melangkah maju.
Pernyataan ini disampaikannya saat meluncurkan Program Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Pidie, Aceh pada Selasa (27/6/2023).
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pada awal Januari 2023, pemerintah telah memutuskan untuk mengadopsi penyelesaian non-yudisial yang berfokus pada pemenuhan hak korban tanpa mengesampingkan mekanisme yudisial.
“Pada awal Januari 2023, pemerintah memutuskan untuk mengadopsi penyelesaian non-yudisial yang berfokus pada pemulihan hak-hak korban. Kami bersyukur bahwa hal ini dapat direalisasikan,” kata Jokowi.
Menurut Presiden, pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam 12 peristiwa dimulai hari ini juga menunjukkan komitmen bersama untuk mencegah terulangnya hal serupa di masa depan.
Presiden juga mengungkapkan bahwa ia telah menerima laporan dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bahwa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Aceh telah mulai mendapatkan jaminan hak kesehatan dan pendidikan.
“Saya telah menerima laporan dari Bapak Menko Polhukam bahwa korban dan keluarga korban di Aceh telah memulai atau telah mulai mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kerja, jaminan hak kesehatan, jaminan keluarga harapan, perbaikan tempat tinggal, serta pembangunan fasilitas lainnya,” jelasnya.
Korban yang mendapatkan pemulihan adalah korban dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, antara lain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari, Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999, pembunuhan dukun santet 1998-1999, Simpang KKA, Aceh 1999, Wasior, Papua 2001-2002, Wamena, Papua 2003, dan Jambo Keupok, Aceh 2003. (hdl)