Surabaya (pilar.id) – Rencana Elon Musk untuk memungut biaya kepada seluruh pengguna X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) telah menjadi topik perbincangan yang hangat di kalangan warganet. Rencana ini juga memicu reaksi negatif dari penggemar platform media sosial yang kini menggunakan logo huruf X.
Elon Musk mengumumkan rencana ini secara langsung saat berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dia menjelaskan bahwa tujuan dari pungutan biaya ini adalah untuk mengatasi akun bot yang sering ditemukan di platform tersebut.
Menanggapi rencana ini, Febby Risti Widjayanto, seorang Dosen Politik Digital dari Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan pandangannya. Menurutnya, Elon Musk ingin memperkenalkan budaya digital baru melalui konsep paywall, di mana pengguna harus membayar untuk berlangganan aplikasi atau platform tertentu.
“Konsep ini adalah upaya untuk memperluas praktik pembayaran dalam platform-platform digital, yang masih berkaitan dengan perubahan sosial saat ini. Rencana ini khususnya ditujukan untuk membersihkan akun palsu dan bot yang masih merajalela di platform X,” ujar Febby.
Febby juga menilai bahwa pungutan biaya ini adalah salah satu cara untuk mendorong konsep liberalisasi digital dalam aplikasi X. Elon Musk berusaha agar platform tersebut dapat berperan lebih aktif dalam mengurangi kekerasan, pelecehan, dan kejahatan di dunia digital, terutama yang dilakukan oleh akun palsu atau bot.
Sebagai seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Febby menjelaskan bahwa dalam perspektif politik dan demokrasi digital, rencana Elon dapat dilihat melalui pendekatan konstruktivisme. Pendekatan ini mempertimbangkan interaksi antara teknologi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat, yang dapat menghasilkan perbaikan atau inovasi dalam produk teknologi.
“Karena masalah yang dihadapi adalah maraknya akun palsu dan bot di platform X, yang kemudian menjadi bagian dari budaya di sana, pihak perusahaan merasa perlu merespons dengan memperbaiki situasi ini melalui pungutan biaya bagi semua pengguna X,” tambahnya.
Namun, Febby juga menunjukkan bahwa penerapan pungutan biaya ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, ini bisa efektif dalam mengatasi masalah bot, tetapi di sisi lain, dapat berisiko bagi kelompok tertentu.
Jika semua pengguna X harus membayar, produsen akun bot dan palsu mungkin akan lebih berhati-hati karena biayanya yang tinggi.
Namun, hal ini juga dapat mempengaruhi kelompok-kelompok seperti relawan, komunitas, atau organisasi sosial yang memiliki keterbatasan sumber daya keuangan.
“Mereka mungkin akan menghadapi tantangan, karena mereka mengandalkan platform X untuk mengadvokasi isu-isu sosial yang sering diabaikan,” ungkap Febby.
Pada akhirnya, Febby menekankan bahwa penerapan tarif ini dapat menghasilkan seleksi alamiah di antara pengguna aplikasi X berdasarkan tingkat sosio-ekonomi mereka. Kelompok kelas menengah dan atas mungkin tidak akan terlalu terpengaruh, tetapi mereka yang kurang mampu berpotensi meninggalkan platform ini karena bukan merupakan kebutuhan pokok bagi mereka.
“Takdir teknologi adalah dapat mencakup semua atau meminggirkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat karena sifatnya yang eksklusif,” pungkasnya. (hdl)