Jakarta (pilar.id) – Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai, kebijakan terbaru pemerintah terhadap minyak goreng di atas kertas atau secara umum, lebih market friendly. Diharapkan, hal ini bisa menjadi upaya untuk memerbaiki distribusi dan pasokan minyak goreng pada masyarakat dg harga terjangkau.
“Sebab selama ini intervensi pemerintah pada pasar minyak goreng, dengan cara melawan pasar. Dan terbukti gagal total. Malah menimbulkan chaos di tengah masyarakat,” kata Tulus, Kamis (17/3/2022).
Namun dari sisi kebijakan publik, YLKI sangat menyayangkan, terkait bongkar pasang kebijakan minyak goreng, yang dinilai sebagai kebijakan coba-coba. Sehingga konsumen, bahkan operator menjadi korbannya.
YLKI mendesak pemerintah untuk memerketat pengawasan terkait harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng non-premium dengan harga Rp14.000. Jangan sampai kelompok konsumen minyak goreng premium mengambil hak konsumen menengah bawah dengab membeli, apalagi memborong minyak goreng non-premium yang harganya jauh lebih murah.
Terkait dengan hal itu, idealnya subsidi minyak goreng sebaiknya bersifat tertutup, by name by address. Sehingga, subsidinya tepat sasaran. Sedangkan subsidi terbuka sepertu sekarang, berpotensi salah sasaran karena minyak goreng murah gampang diborong oleh kelompok masyarakat mampu.
“Dan masyarakat menengah bawah akibatnya kesulitan mendapatkan minyak goreng murah. Pemerintah seharusnya belajar dari subsidi pada gas melon,” kata dia.
Di sisi lain, kata Tulus, YLKI terus mensesak KPPU untuk mengulik adanya dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng, CPO, dan sawit. YLKI juga mendesak pemerintah untuk transparan terkait kebijakan DMO 20 persen. Sebab DMO 20 persen memang tidak akan cukup kalau disedot ke biodiesel.
“Dalam kondisi seperti sekarang, CPO untuk kebutuhan pangan lebih mendesak, daripada untuk energi,” pungkasnya. (her/fat)