Purworejo (pilar.id) – Kabupaten Purworejo terletak di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Wilayah ini memiliki pesona alam yang menawan serta kekayaan budaya yang kental. Kabupaten ini terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Tengah, berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung di sebelah utara, Kabupaten Wonosobo di sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, serta Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banyumas di sebelah barat.
Daerah ini memiliki relief yang beragam, meliputi pegunungan, perbukitan, lembah, serta pantai. Karena ini pula Purworejo memiliki destinasi wisata alam yang menarik, seperti Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Merapi yang dapat dinikmati oleh para pendaki. Selain itu, Pantai Glagah dan Pantai Watu Kodok.
Juga terdapat objek wisata air terjun seperti Curug Silawe dan Curug Tempuran yang memikat. Di sisi lain, Kabupaten Purworejo kaya akan warisan budaya. Beberapa candi dan situs bersejarah dapat ditemukan di sini, seperti Candi Gebang, Candi Cetho, dan Candi Sukuh.
Desa Kemiri juga dikenal sebagai pusat kerajinan batik yang menghasilkan karya-karya unik dengan gaya tradisional. Di luar itu kawasan ini juga populer dengan kawasan wisata religi yang terbilang jarang diketahui. Apa saja?
Kelenteng Thong Hwie Kiong
Kelenteng Thong Hwie Kiong, sebuah kelenteng kuno yang pertama kali dipugar pada tahun 1888 Masehi, terus memancarkan pesona sejarah dan keramat spiritualnya. Terletak di Kabupaten Purworejo, kelenteng ini populer dengan sebutan Klenteng Baledono di kalangan warga setempat. Dalam keyakinan masyarakat, kelenteng ini dianggap memiliki energi mistik. Konon, bahkan patung Dewa Kwan Kong dapat turun dari altar jika situasi mendesak.
Kelenteng bersejarah ini berlokasi di sebelah Timur Pasar Baledono, Kabupaten Purworejo. Bagi penduduk setempat, Klenteng Thong Hwie Kiong bukanlah sekadar bangunan kuno yang terabaikan. Sejarah wilayah ini beriringan dengan jejak kelenteng yang lebih dikenal sebagai Klenteng Baledono.
Namun, hingga kini, misteri mengenai tahun pasti pembangunan kelenteng dan tokoh di baliknya masih belum diketahui. Prasasti yang terletak di bagian depan kanan kelenteng hanya menyinggung tentang pemugaran pertama, tanpa mengungkap siapa yang pertama kali mendirikannya. Berdasarkan prasasti tersebut, renovasi pertama kelenteng dilakukan pada tahun 1888 Masehi.
Para sumber lokal menyatakan bahwa Kelenteng Thong Hwie Kiong menjadi tempat ibadah bagi umat Khong Hu Cu, Buddha, dan Tao. Di dalam kelenteng ini, terdapat 13 altar tempat dilakukan ibadah. Dewa utama yang dihormati dalam kelenteng ini adalah Hok Tek Ceng Sin, Malaikat Kebajikan yang dipercaya membawa berkah bagi para pemuja. Dengan sejarahnya yang misterius dan aura keramatnya, kelenteng ini terus menjadi tempat yang dikunjungi oleh peziarah dari berbagai latar belakang keagamaan.
Petilasan Nyai Bagelen
Desa Bagelen yang terletak di Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, memiliki sebuah tempat suci yang menjadi tujuan utama peziarah dari berbagai penjuru. Tempat ini bukan hanya menjadi tempat berdoa, tetapi juga menjadi tempat di mana banyak orang berharap agar hajat dan doanya terkabul.
Tempat itu adalah petilasan Nyi Ageng Bagelen, yang juga dikenal dengan nama Ratu Diyah Ayu Roro Wetan. Nyi Bagelen dikenal sebagai tokoh penting yang dianggap sebagai cikal bakal Kabupaten Purworejo dan diperkirakan hidup pada abad ke-7.
Peziarah yang datang ke petilasan Nyi Bagelen berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Bukan hal yang langka melihat para pejabat, bahkan termasuk pejabat tinggi, datang untuk berziarah di tempat ini. petilasan Nyi Bagelen menjadi tempat ziarah yang memiliki arti spiritual dan sejarah yang dalam.
Dalam tradisi setempat, Nyi Bagelen merupakan cucu buyut dari Prabu Suwelo Colo, seorang raja dari Kerajaan Medang Kamulan yang memerintah di daerah pesisir selatan pada abad ke-6. Tempat suci ini, petilasan Nyi Bagelen, adalah tempat di mana Nyi Bagelen melakukan pertapaan dan mencapai moksa pada abad ke-7.
Legenda turun-temurun menyebutkan bahwa Nyi Bagelen adalah sosok bijaksana dengan pengetahuan yang luas, terampil dalam pertanian, dan memiliki etika yang luhur. Ia juga dikenal sebagai sosok yang memiliki pengetahuan spiritual dan memiliki kemampuan gaib yang luar biasa, sehingga dia dihormati oleh masyarakat hingga saat ini.
Petilasan Nyi Ageng Bagelen terletak di atas lahan seluas 3.000 meter persegi. Di bagian belakang, terdapat makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan keturunan Nyi Bagelen, sementara di bagian depan terdapat bangunan aula. Di lingkungan yang rimbun dengan pepohonan, terdapat pula musala untuk kegiatan ibadah.
Tempat suci ini bukan hanya menawarkan sejarah dan spiritualitas, tetapi juga memberikan suasana yang tenang dan damai bagi para pengunjung. Keajaiban dan makna mendalam yang diwariskan oleh petilasan Nyi Ageng Bagelen menjadikannya sebagai salah satu destinasi ziarah yang penuh keberkahan di tengah pesona Purworejo.
Gereja GPIB
Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) di Jalan Urip Sumoharjo 24, Purworejo, bukan hanya sebuah tempat ibadah, tetapi juga sebuah peninggalan sejarah. Berdiri sejak 12 November 1879, gereja ini telah menghiasi Purworejo selama 144 tahun. Walaupun demikian, bangunan ini tetap kokoh berdiri dan orisinal.
GPIB telah berdiri sebelum bangunan gereja terbesar di kota ini, yaitu Gereja Katolik Santa Perawan Maria, yang baru dibangun pada tahun 1927 oleh Romo B.J.J. Visser MSC, belum mencapai usia 100 tahun. Keberadaan GPIB menjadi bukti hadirnya Zending di Purworejo sejak zaman dulu.
Pada masa penjajahan Belanda, gereja ini dikenal sebagai Indische Kerk atau Gereja Pemerintah Hindia Belanda. Sebutan ini digunakan karena pemimpin gereja pada saat itu juga menjadi pegawai pemerintah kolonial.
Menurut Buku Pendataan Teknis Gereja GPIB Kabupaten Purworejo yang diterbitkan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994/1995, gereja ini memiliki ukuran 8 meter lebar dan 23 meter panjang.
Gaya arsitektur kolonial tercermin dari pilar dan pilaster yang merupakan elemen dekoratif di bagian depan bangunan. Pilaster dengan gaya neo-Gothic, yang asalnya dari Yunani, terlihat jelas di bagian depan dan samping bangunan.
Bangunan gereja memiliki teras di depan pintu utama dengan ukuran 1,5 x 3 meter. Teras ini diberi penutup dari beton bertulang berbentuk lengkung setengah lingkaran, yang ditopang oleh 2 pilar kolom dengan garis tengah 50 cm, serta 2 buah pilaster.
Atap bangunan ini berbentuk pelana dengan kemiringan 50 derajat, tanpa menggunakan tritisan. Konstruksi atap terbuat dari kayu jati dengan penutup genteng flams. Kuda-kuda dari kayu jati ini berjarak 3 meter dan menopang pada pilar tembok dengan ukuran 60 x 60 cm, serta dinding setebal 30 cm yang mencapai beberapa meter di atas lantai.
Terdapat talang kantong dan sistem pengaliran air di atas tembok sisi utara dan selatan bangunan, serta langit-langit utama yang dibuat dari kayu jati yang terletak di bawah kuda-kuda. Secara struktural, bangunan utama terdiri dari satu ruangan dengan satu pintu utama dan lima pintu penghubung. Penerangan alami diberikan melalui delapan buah jendela yang tersebar di bangunan tersebut. (hdl)
1 Komentar
Ternyata di Purworejo ada klenteng, baru tahu saya. Terima kasih infonya.