Kudus (pilar.id) – Shalat Tarawih pertama di Masjid Menara Kudus berjalan khusuk. Ratusan jamaah bersama mengangkan tangan, mensejajarkan ujung jari dengan telinga bersama saat takbiratul ihram.
“Tadi jamaah pria di dalam masjid. Trus jamaah perempuan berada di sebelah utara,” kata Achmadi (44), salah satu peserta shalat tarawih, Rabu (22/3/2022) malam.
Pada pilar.id, warga Pati ini mengaku, ia datang bersama anak laki-lakinya sejak sore. Bersama warga yang lain, seperti tahun-tahun yang lalu, ia datang untuk menantikan tabuh bedug blandrangan.
Tabuh bedug jadi tanda dimulainya 1 Ramadhan atau hari pertama berpuasa. Tradisi ini muncul sesuai kebiasaan Sunan Kudus yang tiap akhir Sa’ban memberikan pengumuman dimulainya Ramadan.
Mereka yang datang malam itu tidak hanya warga Kudus, tapi juga datang dari Pati, Jepara, Demak, dan Grobogan. Selain berada di posisi yang dekat dengan Kudus, pengunjung ini menyadari, momen Ramadhan dan Masjid Menara Kudus selalu istimewa.
Ya, bagi masyarakat Jawa Tengah, baik warga pesisir maupun non peisisir, Masjid Menara Kudus selalu dianggap istimewa. Salah satu alasannya adalah karena masjid ini merupakan salah satu peninggalan sejarah yang menunjukkan proses akulturasi budaya antara Islam dan Hindu di Jawa.
Salah satu masjid tertua di Indonesia ini memiliki nilai sejarah dan arsitektur yang tinggi. Masjid ini dibangun pada abad ke-16 oleh Sunan Kudus, salah satu penyebar Islam di tanah Jawa.
Masjid ini juga menjadi simbol toleransi antara umat Islam dan Hindu-Buddha, karena menampilkan unsur-unsur budaya lokal seperti gapura candi dan menara kentongan.
Masjid Kudus memiliki ciri khas arsitektur yang unik, yaitu adanya menara setinggi 18 meter yang berbentuk seperti candi Hindu. Menara ini terbuat dari batu bata merah dan terdiri dari tiga bagian: kaki, badan dan kepala. Pada bagian kaki menara terdapat ornamen-ornamen bercorak Hindu, sedangkan pada bagian badan terdapat ruang untuk menyimpan bedug atau kentongan. Pada bagian kepala menara terdapat rajah Kalacakra yang merupakan simbol kosmologi Buddha.
Menara ini tidak hanya berfungsi sebagai hiasan atau lambang akulturasi budaya, tetapi juga sebagai sarana komunikasi antara masjid dengan masyarakat sekitar.
Masjid Kudus juga memiliki nilai toleransi yang tinggi dalam hal makanan. Sunan Kudus melarang umat Islam di Kudus untuk menyembelih sapi dan memakan dagingnya sebagai bentuk penghormatan kepada masyarakat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Oleh karena itu, masyarakat Kudus mengganti daging sapi dengan daging kerbau atau ayam dalam masakan mereka.
Pemerintah setempat memposisikan Masjid Kudus sebagai salah satu destinasi wisata religi dan budaya yang menarik bagi para pengunjung.
Pemerintah juga berupaya melestarikan keaslian dan keindahan masjid ini dengan melakukan pemeliharaan dan renovasi secara berkala. Selain itu, pemerintah juga mengembangkan berbagai fasilitas pendukung di sekitar masjid.
Dengan demikian pemerintah setempat berharap Masjid Kudus dapat terus bertahan menjadi saksi sejarah dan warisan budaya bangsa Indonesia, sekaligus tempat wisata yang memberikan manfaat ekonomi untuk masyarakat sekitar. (hdl)