Surabaya (pilar.id) – Hari itu, Pendapa Taman Budaya Jawa Timur di Jalan Gentengkali, Surabaya, ramai oleh anak-anak yang tengah berlatih tari. Sabetan selendang dan gerak rancak selaras dengan ketukan gamelan yang berasal dari alat pemutar musik.
Shyakira Pramesti Zulkarnaen, siswi kelas 2 Sekolah Dasar Negeri Kedungdoro 2, sore itu mengenakan kaos merah bergambar tokoh kartun dunia, Mickey Mouse.
Didampingi sang ibu yang menunggu di pinggir pendapa, Shyakira mengaku mulai menyukai seni tari tradisional saat diajak ibunya menonton latihan tari di Taman Budaya Jawa Timur.
“Shyakira kadang juga nonton Dance Korea di rumah, tapi dia lebih suka tari tradisional,” ujar Nila Juwita, ibunda Shyakira.
Teman berlatih tari Shyakira, Raihan Farelino Zidan, memiliki kisah berbeda. Awalnya sang ayah melarang dirinya latihan tari. “Tapi aku tetap latihan menari dan menang di beberapa lomba tari. Akhirnya ayah mengizinkan aku untuk terus berlatih tari,” kata Raihan, siswa kelas 4 SDN Petemon 1 Surabaya.
Shyakira dan Raihan adalah dua anak dari puluhan anak dan remaja yang sampai hari ini mengikuti latihan tari tradisional di Sanggar Tari ‘Laboratorium Remo’, Surabaya.
Laboratorium Remo didirikan oleh Dini Ariati. Dua dekade lebih perjalanan sanggar tari tradisional punya tujuan dan makna sendiri bagi Dini. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memang menjadi tantangan yang serius bagi semua hal berbau tradisi. Termasuk Laboratorium Remo.
Untuk menjaga minat tari anak-anak dan remaja, Dini mengaku tak punya kiat khusus. “Laboratorium Remo adalah sanggar berbasis pembinaan berkelanjutan. Kami mendidik anak-anak menari hingga kelak menjadi pelatih atau pembina. Dengan demikian, ekosistem pendidikan tari tradisional tetap terjaga,” jelas Dini.
Ia pun menambahkan, peran orang tua juga penting untuk memperkenalkan dan memberi akses pendidikan tari tradisi kepada anak-anak.
Menurut Dini, Lab Remo tergolong sanggar dengan biaya yang sangat murah. “Dengan uang kursus Rp 50 ribu, anak-anak sudah dapat akses latihan tari tradisional sperti remo plus tari modern dengan dukungan tujuh orang pelatih yang juga lahir dari sanggar ini,” kata Dini.
Dukungan dalam bentuk subdisi dari Pemerintah Kota Surabaya menurut Dini juga menjadi hal penting untuk menjamin keberlanjutan sanggar tari.
Mahyuni Rahayu, alumni Lab Remo yang kini aktif menjadi pembina tari mengungkapkan, Remo adalah ikon tari Surabaya. Remo diajarkan di semua sekolah dasar di Surabaya.
“Gerakan tari remo yang tergolong sulit menjadi dasar yang baik bagi anak-anak yang kelak mempelajari tari lainnya,” jelas Mahyuni.
Laboraturium Remo tak cuma konsisten membina dan membentuk generasi penerus tari tradisional. Sanggar ini juga melahirkan talenta tari berprestasi. Diantaranya Aishwarya Nesya Putri, peraih beasiswa dari Universitas Surabaya pada tahun 2021 lewat jalur bakat dan prestasi.
Sementara itu, pelatih tari muda lainya, Kukuh Budi Nugroho mengatakan, kesenian tari adalah sesuatu yang berharga.
“Berlatih tari memerlukan waktu yang panjang, tenaga yang banyak dan juga biaya. Jika kamu suka bersosial media, maka sampaikan juga bahwa kita punya kesenian tradisonal yang bernilai,” tutur Evan, panggilan akrab Kukuh Budi Nugroho. (mis/hdl).