Jakarta (pilar.id) – Pasang surut demokrasi di Indonesia terus terjadi sejak kemerdekaan 1945. Demokrasi di Indonesia tidak bergerak secara linier. Namun, keyakinan mengenai gagasan demokrasi di Indonesia tidak akan pernah musnah.
Senior Fellow Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45), Sigit Pamungkas mengatakan, berdasarkan hasil kajian LAB 45 dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang berjudul ‘Memperkuat Demokrasi di Indonesia’ menemukan bahwa terdapat tantangan utama demokrasi di Indonesia yang dibagi ke dalam empat kategori.
Menurut Sigit, tantangan pertama ialah tantangan institusional. Pada dimensi institusional terdapat tantangan politik yang berbiaya tinggi, penegakan hukum yang belum kuat, serta masih lemahnya check and balance. Kedua, tantangan budaya. Pada dimensi ini terdapat tantangan populisme yang berlebihan, politik dinasti dan deviasi demokrasi.
Lalu tantangan ketiga, dukungan setengah hati atas demokrasi, seperti masih adanya politik identitas, masyarakat sipil yang lemah serta para elite yang memunggungi demokrasi. Keempat, tantangan struktural yang terdiri dari oligarki, ketimpangan, ekonomi serta korupsi.
“Dari tantangan tersebut ada enam hal yang harus menjadi fokus kita bersama. Yaitu perbaikan pada ranah elektoral terutama politik uang, penguatan penegakan hukum, memperkuat skema welfare estate, memperkuat kekuatan penyeimbang di legislatif, memperkuat masyarakat sipil dan kaderisasi pemimpin bangsa” jelas Sigit dalam keterangan persnya, Sabtu (27/8/2022)
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Senior Pusat Riset Politik BRIN Firman Noor mengatakan, demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan. Meski begitu, ia meyakini demokrasi di dalam negeri tidak kembali ke sistem otoritarian.
“Saya yakin kita tidak kembali ke otoritarian. Tapi lebih pada mendekati post demokrasi,” ujarnya.
Di sisi pemerintah, Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo mengatakan perpajakan bisa dijadikan sebagai state-building process. Ia menjelaskan, pembebanan pajak sebagai proses negosiasi berbasis tawar-menawar dan demokrasi partisipatoris.
“Pajak dapat dijadikan instrumen untuk demokratisasi, yakni bagaimana mengambil dari kelompok kaya kemudian diredistribusikan kembali,” ujarnya.
Menurut Prastowo, bentuk demokratisasi dari perpajakan ialah pemerintah berhasil menelurkan Undang-Undang tentang Keterbukaan Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Hal yang baik dari demokrasi kita harus terus dipupuk agar menjadi social capital yang memungkinkan transformasi yang lebih kuat,” kata Prastowo. (her/hdl)