Surabaya (pilar.id) – Matahari belum tinggi. Tapi kesibukan mulai terasa di rumah yang berdiri di kawasan Wisma Penjaringan Sari, Surabaya ini. Bersama tiga sejawatnya, Wahyu Indrawati, 17 tahun, mulai mematut diri.
Mengenakan baju berwarna putih, lalu memasang jarik parang parung. Teman-temannyapun melakukan hal yang sama. Melengkapi diri dengan boro-boro, cinde, cakep, sabuk jathil dan yang lain. Sementara makeup tebal yang melapis wajah seperti mempertegas karakternya sebagai penunggang kuda di sesi jathilan, Reyog Ponorogo.
Ya, pagi ini, ia akan tampil dalam sebuah gelaran reyog di Wisma Penjaringan Sari, Surabaya. Kebetulan warga mengundang mereka untuk mewarnai perayaan HUT Kemerdekaan ke-77 RI pagi hingga siang hari.
Siswi sebuah SMK di Surabaya ini kemudian berdiri dan berlatih menggerakkan tangan, jari, dan kakinya. Sesekali mengingatkan teman-temannya, agar menjaga gerak tetap selaras dan kompak.
“Sebetulnya kami sudah biasa berlatih di sanggar. Tapi kalau mau mentas ya gini. Harus mengingat lagi biar lebih baik,” katanya. Bagi dia, tampil dengan performa terbaik adalah standar mutlak yang tidak bisa dilanggar.
Selain demi menjaga nama baik sanggar dan seni budaya yang diusung, juga demi menyenangkan penonton. Karena Wahyu tahu pasti, mereka yang datang tentu berharap agar pertunjukan ini berjalan mulus tanpa kendala.
Wahyu kemudian mengaku, bersama sejumlah remaja puteri lain, ia sengaja bergabung dalam Sanggar Reyog Ponorogo Simojoyo Katong, Sidoarjo ini beberapa tahun silam.
Karena selain suka menari, ia juga tertarik untuk melakukan eksplorasi terhadap budaya asli Indonesia yang juga dikenal di kancah internasional.
“Saya enjoy bergabung di sini, saya bangga jadi penari,” tegasnya. Meski diakui, sebagai remaja, ia kerap dicibir karena menerjuni dunia tari tradisional. “Tapi ya nggak apa-apa. Biarin aja. Kalau saya terpengaruh omongan-omongan itu ya tidak baik. Saya berpikir, kalau mendengar mereka, kita tidak bisa berkembang juga,” tambahnya.
Tepat pukul 09.00 WIB, Wahyu dan para seniman reyog berdiri dan membentuk formasi. Suara gamelan riuh mengiringi Singa Barong, penari Topeng Bujang Ganong, dan rombongan penari kuda jathilan.
Wahyu pun berjalan bersama mereka, beriringan menunggang kuda kepang yang bergerak ke kiri dan ke kanan, melaju dalam pola ritmis mlaku dan irama ngracik. Sementara matahari terus bergerak di atas kepala. Menawarkan panas dan jalan cerita. (hdl)