Jakarta (www.pilar.id) – Kebijakan sektor kehutanan seringkali membahayakan pembangunan. Padahal pemanfaatan tanah nasional juga harus memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat.
Demikian pendapat yang disampaikan Prof. Soedarsono Sudomo, Ph.D dalam Sidang Orasi Ilmiah berjudul “Ekonomi Politik Pertanahan Indonesia: Forest Curse Dan Forestry Disease” di Grha Wisuda, Kampus IPB, Bogor, Sabtu (18 September 2021).
“Pembangunan pertanian tanpa didahului penataan agraria akan menghasilkan wajah pertanian yang sejadinya. Kesejahteraan petani sulit diangkat akibat skala usaha terlalu kecil. Kehendak pembenahan agraria selepas dari masa penjajahan ditandai lahirnya UU Pokok Agraria Nomor 6 Tahun 1960 (red-UUPA). Sampai hari ini UUPA belum dapat dijalankan sepenuhnya,” Prof. Soedarsono yang akrab dipanggil Gus Dar.
Ia melanjutkan bahkan 2/3 tanah di Indonesia tidak mengikuti UUPA. Ada “negara dalam negara” yang diawali UU Nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (UUPK).
“Ringkasnya, ada dualisme kelembagaan dalam ekonomi politik pertanahan Indonesia. Ini mengakibatkan dampak luar biasa hingga hari ini hingga beberapa dekade yang akan datang,” ujarnya.
Dampak paling dahsyat dari persoalan tersebut adalah ketimpangan alokasi tanah di Indonesia. Yakni 64 persen tanah Indonesia dikuasai dan dipergunakan secara eksklusif oleh sektor kehutanan dan sisanya 36 persen dipergunakan untuk berbagai keperluan.
Sebagai perbandingan, alokasi untuk hutan produksi mencapai 68 juta hektar. Sedangkan, luas sawah beririgasi sebagai penghasil makanan pokok hanya 7 juta hektar, ini yang saya sebut sejadinya.
Namun, banyak dari areal diklaim hutan produksi dalam keadaan tidak berhutan. Celakanya, kemampuan menghutankan kembali tidak ada usaha dan disaat yang bersamaan sektor lain tidak dapat menggunakannya.
“Semboyan digunakan kurang lebih seperti ini lebih baik dipakai sektor kehutanan yang tidak berhutan walaupun tidak produktif daripada digunakan sektor lain yang memberikan kemakmuran lebih besar,” ujar pria kelahiran Banyuwangi ini.
Prof. Sudarsono mengatakan penguasaan tanah di sektor kehutanan yang begitu dominan tidak disertai kemampuan mengelola lebih baik. Ini terbukti, setengah dari tanah yang dialokasikan bagi sektor kehutanan digunakan sebagai kawasan budidaya yang menyumbang kurang dari 1% Produk Domestik Bruto (PDB).
“Terjadi inefisiensi penggunaan tanah yang sangat luar biasa. Ibarat kapal posisi Indonesia sangat miring sehingga berbahaya di Samudra luas. Padahal daya muat masih memadai,” ujarnya.
Menurutnya, banyak kebijakan di sektor kehutanan yang menambah banyak biaya tetapi tidak disertai banyak manfaat. Hampir setiap langkah memerlukan banyak perizinan kehutanan. Di lapangan, hutan alam semakin menyusut tetapi hutan industri tidak mampu berkembang.
”Masalah ini harus dihentikan supaya tidak memberikan dampak luar biasa dan semakin sulit diatasi terutama menyangkut ketahanan pangan nasional. Kepentingan negara harus diutamakan daripada kepentingan sektor,” urainya.
Prof Sudarsono menceritakan bahwa pada periode akhir Orde Lama hingga awal Orde Baru, ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Pemerintah perlu dana tunai yang cepat dan segera mendorong investasi.
Ketika itu, kecuali Pulau Jawa, sebagian besar permukaan tanah semua pulau masih ditutupi oleh hutan alam primer.
“Kayu dalam hutan sangat berlimpah. Investasi penebangan kayu meningkat pesat dan negara memperoleh uang tunai dengan cepat. Hutan alam menjadi mesin uang ketika itu,” katanya.
Dengan ilusi hutan alam yang melimpah, dikatakan Prof.Sudarsono, dan menjadi mesin uang yang melimpah secara berkelanjutan maka banyak areal diklaim sebagai “kawasan hutan”. Ternyata semua itu hanya ilusi. Setiap upaya memperbaiki alokasi tanah demi pembangunan agar lebih efisien selalu menghadapi resistensi yang luar biasa dari yang namanya wilayah kehutanan.
“Inilah penyakit kehutanan yang saya maksud (red-forest disease). Akibatnya, hutan alam yang dahulu melimpah menjadi sebuah kutukan (red-forest curse). Banyak pemukiman dan tanah rakyat yang terperangkap di dalamnya. Ada kampung terbentuk sebelum Indonesia merdeka lalu diklaim masuk kawasan hutan yang penting diatas kertas hutan,” imbuhnya.
Sudarsono mengatakan masalah ini mengakibatkan rakyat hidup dalam ketidakpastian. Hukum dan peraturan harus ditegakkan termasuk kepada pemerintah sendiri.
“Dalam persoalan kawasan hutan, pelanggaran perundangan justru dilakukan pemerintah sendiri. Di berbagai konflik tenurial, (kementerian kehutanan) justru menjadi pemain utama. Sumbangan terhadap kemakmuran sangat kecil. Tetapi sumbangan terhadap konflik tenurial semakin besar,” ujar dosen IPB University dari Departemen Manajemen Hutan ini.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Prof Sudarsono memberikan jalan keluar dari kemelut agraria ini. Pertama, pemanfaatan lahan harus menjadikan sebesar-besar kemakmuran rakyat (sesuai Pasal 33 UUD 1945). Kedua, menyusun tataruang dengan melibatkan semua sektor sebagai keputusan politik negara untuk memilah tanah menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya.
“Ketiga, mengkontestasikan penggunaan tanah pada kawasan budidaya yang memberi kebebasan kepada penggunanya untuk menentukan usahanya. Ke empat, menempatkan urusan tanah pada lembaga non-sektor atau non-teknis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbatas hanya mengurus hutan saja (yang ada tanaman hutannya). Kelima, reforma agraria perlu diperluas ke reforma industri pertanian primer agar ada sumber pendapatan baru bagi petani dan negara,” pungkasnya.