Jakarta (pilar.id) – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Indonesian Digital Association (IDA) meminta Presiden Joko Widodo untuk meninjau ulang naskah Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme yang Berkualitas.
Pada tanggal 24 Juli 2023, hanya satu minggu setelah pelantikannya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menyatakan bahwa naskah rancangan Perpres tersebut sudah diserahkan ke Sekretariat Negara untuk ditandatangani oleh Presiden. Namun, beberapa poin dalam naskah rancangan terakhir ini belum mendapatkan persetujuan dari seluruh pemangku kepentingan di industri media.
Ketua Umum AMSI, Wenseslaus Manggut, menegaskan bahwa substansi Perpres tersebut harus berfokus pada upaya memperbaiki ekosistem jurnalisme di Indonesia. “Kita semua bertujuan menciptakan bisnis media yang sehat dengan konten jurnalisme berkualitas,” katanya. Namun, Wenseslaus juga menekankan perlunya melibatkan platform digital sebagai pemangku kepentingan dalam ekosistem informasi di Indonesia.
“Kami harus menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak dalam pembahasan rancangan Perpres ini,” tambahnya. Solusi yang telah diterapkan di negara lain, seperti klausul “designation clause” dalam Media Bargaining Code di Australia, bisa diadopsi di Indonesia. Dengan klausul ini, platform yang menolak memberikan kontribusi signifikan dalam memperbaiki ekosistem media akan diwajibkan memenuhi ketentuan dalam peraturan. Namun, hingga saat ini, draft terakhir Perpres Publishers Rights yang beredar tidak mencakup klausul tersebut.
Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito, menegaskan pentingnya memastikan bahwa semua kompensasi dari platform untuk penerbit media benar-benar digunakan untuk membiayai produksi jurnalisme berkualitas. “Harus ada jaminan bahwa peraturan ini berdampak pada kesejahteraan jurnalis. Oleh karena itu, draft terakhir rancangan Perpres harus dibuka untuk masukan publik agar mendapatkan hasil terbaik,” ungkapnya.
Sasmito juga menyoroti pentingnya pengawasan dan penegakan peraturan oleh badan pelaksana atau komite yang independen dari kepentingan platform, industri media, dan pemerintah. Namun, badan pelaksana atau komite tersebut harus tunduk pada Undang-Undang Pers dan tidak memiliki kewenangan yang melampaui Dewan Pers.
Ketua Umum IDA, Dian Gemiano, mengungkapkan aspirasi organisasinya agar Perpres ini tidak menghambat perkembangan industri media digital di Indonesia. “Kami mendukung regulasi untuk memastikan kelangsungan jurnalisme berkualitas di Indonesia, namun kami juga harus bijak dalam mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam industri yang sedang berubah ini,” jelasnya.
Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, meminta agar regulasi ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan bagi semua penerbit media, termasuk yang berskala menengah dan kecil, sehingga tercipta ekosistem media digital yang sehat, berkualitas, profesional, dan mendukung kesejahteraan para jurnalis.
“Regulasi ini harus memastikan media yang memproduksi dan melaksanakan kerja jurnalistik yang berkualitas dapat terus berkembang. Jangan sampai regulasi ini hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Penerbit kecil, lokal, dan independen juga harus dilindungi oleh regulasi ini,” tambahnya.
Google tanpa Berita
Google Indonesia merespon rencana penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme yang Berkualitas dengan sebuah siaran pers pada 25 Juli 2023.
Mereka menegaskan rencana untuk tidak lagi menayangkan konten berita di platformnya jika peraturan tersebut disahkan. Ancaman serupa sebelumnya pernah dilakukan oleh Google di Australia dan Kanada, namun di Australia, perusahaan teknologi tersebut akhirnya menyetujui renegosiasi dengan pemerintah setempat yang menghasilkan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Jika ancaman Google benar-benar dilaksanakan, maka platform mesin pencari Google dan situs agregator video YouTube tidak akan lagi menayangkan konten yang berasal dari penerbit media di Indonesia.
Selain berdampak pada traffic pembaca, penerbit media juga berpotensi kehilangan pendapatan yang mencapai miliaran rupiah yang selama ini berasal dari perusahaan teknologi raksasa tersebut.
Hal ini juga akan berdampak pada akses publik terhadap informasi penting dan kredibel yang dihasilkan oleh redaksi media massa, terutama di periode yang krusial menjelang Pemilihan Umum 2024.
Desakan dari AMSI, AJI, IJTI, dan IDA kepada Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali isi Perpres Publishers Rights sesuai dengan prinsip global yang berusaha menciptakan relasi yang lebih adil antara penerbit media dan korporasi teknologi.
Prinsip ini dirumuskan di Johannesburg, Afrika Selatan pada 14 Juli 2023 dan didukung oleh 75 penerbit, jurnalis, dan peneliti media dari 25 negara di dunia. Prinsip ini menegaskan pentingnya setiap mekanisme yang mengatur hubungan antara platform digital dan perusahaan media harus mengutamakan transparansi dan akuntabilitas. AMSI dan AJI merupakan dua organisasi dari Indonesia yang ikut terlibat dalam perumusan prinsip global tersebut.
Peraturan Publishers Rights diharapkan tidak hanya mengatur soal kompensasi untuk konten berita, tetapi juga melindungi hak cipta dari penerbit media yang saat ini terancam oleh keberadaan mesin kecerdasan buatan (Generative AI).
Dalam menghadapi berbagai perubahan teknologi saat ini, penting untuk menciptakan aturan yang dapat mengakomodasi kepentingan penerbit media dan platform digital, sehingga ekosistem informasi digital dapat menjadi lebih kredibel dan bermanfaat bagi publik. (hdl)