Jakarta (pilar.id) – Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) RI telah memulai rapat untuk menyusun revisi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Revisi UU Desa ini diinisiasi sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XXI/2023. Namun, wacana revisi tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat karena dianggap memiliki motif politik menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024.
Ucu Martanto SIP MA, seorang Dosen Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan tanggapannya terkait revisi UU tersebut.
Ucu menyatakan bahwa revisi UU akan berdampak pada dinamika politik di desa, terutama terkait perubahan masa jabatan kepala desa.
“Revisi UU ini akan memengaruhi masa jabatan kepala desa. Awalnya, satu periode kepala desa hanya enam tahun, namun kemudian berubah menjadi sembilan tahun. Setelah itu, kepala desa dapat dipilih kembali untuk periode yang sama,” ujar Ucu.
Ucu menyoroti perbedaan signifikan antara politik yang terjadi di tingkat desa dengan politik di tingkat kabupaten, kota, provinsi, maupun nasional.
Politik di tingkat desa memiliki ruang lingkup yang lebih kecil. Dalam konteks pemilihan kepala desa, para calon kepala desa dan tim sukses mereka umumnya sudah dikenal luas oleh masyarakat setempat. Pemilih dan calon kepala desa berasal dari lingkungan yang sama, sehingga seringkali pemilihan kepala desa memunculkan masalah dan konflik akibat hubungan personal dan emosional antarindividu.
“Meskipun pemilihan kepala desa sudah berakhir, proses rekonsiliasi tetap sulit dilakukan. Revisi ini bertujuan untuk memberikan waktu yang lebih untuk penyelesaian konflik yang mungkin terjadi,” terang Ucu.
Selanjutnya, Ucu menekankan bahwa revisi ini berpotensi mengakibatkan politik dinasti, terutama dalam perpanjangan masa jabatan. Dalam konteks ini, petahana memiliki kesempatan lebih lama untuk membangun reputasi dan mengumpulkan sumber daya untuk pemilihan selanjutnya.
Oleh karena itu, tidak jarang ketika masa jabatan seorang kepala desa berakhir, jabatan tersebut dialihkan kepada anak, saudara, atau kerabat terdekat lainnya.
Politik dinasti di desa ini akan berdampak pada dominasi kekuasaan yang akan terus melekat pada keluarga petahana. Dalam hal ini, calon kepala desa lain tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan dukungan masyarakat.
“Apabila dilihat dari perspektif demokrasi substantif, petahana akan sulit dihadapi karena memiliki waktu lebih lama untuk mempersiapkan pemilihan selanjutnya,” paparnya.
Perpanjangan masa jabatan juga perlu mempertimbangkan aspirasi dari kepala desa dan pendapat masyarakat untuk memastikan bahwa perubahan ini benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat desa. Selain itu, kinerja, transparansi, dan akuntabilitas kepala desa yang telah menjabat juga harus menjadi pertimbangan.
Desakan perpanjangan masa jabatan ini juga muncul karena pandangan bahwa enam tahun masa jabatan kepala desa dianggap tidak cukup. Dengan penambahan waktu, petahana diharapkan dapat lebih matang dalam persiapan pemilihan berikutnya.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pengaruhnya terhadap tahun politik 2024. Ucu berpendapat bahwa partai politik yang mendukung perubahan ini kemungkinan akan mendapatkan dukungan lebih dari kepala desa. Jika dilihat secara mendalam, seorang kepala desa memiliki pengaruh besar dalam berkampanye dan menarik perhatian masyarakat desa.
“Revisi ini tidak hanya fokus pada masa jabatan, tetapi juga melibatkan partisipasi warga dan lembaga Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah perlu memperhatikan bukan hanya masa jabatan, tetapi juga regulasi lainnya guna meminimalkan penyalahgunaan jabatan,” tegas Ucu. (hdl)