Surabaya (pilar.id) – Perbincangan tentang sepinya pasar belakangan ini terus mengemuka di berbagai media, terutama setelah para pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta, mengaitkan kelesuan bisnis mereka dengan TikTok Shop.
Menanggapi hal ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 yang memisahkan media sosial dari lokapasar. Dampaknya, pedagang yang sebelumnya aktif menggunakan TikTok untuk berjualan via siaran langsung harus mencari alternatif.
Masalah ini juga menarik perhatian Made Gita Nadya Ayu Ariani SE MSM, Dosen Manajemen FEB Unair. Menurutnya, saat ini, pembelian barang tidak hanya berdasarkan kebutuhan fisik, melainkan juga untuk mengejar status sosial dengan membeli barang yang dipromosikan oleh para influencer.
“Orang tidak hanya membeli barang karena kebutuhan, tetapi juga karena ingin mendapatkan status sosial dengan terlibat ‘interaksi’ dengan selebritas,” ungkapnya.
Tak jarang, beberapa pembeli bahkan merekam proses pembelian mereka dan membagikannya di media sosial. Dengan demikian, para influencer mendapatkan pendapatan yang besar dari siaran langsung mereka, yang jauh melampaui pendapatan pedagang di pasar tradisional.
Bagi Gita, keputusan untuk menghentikan TikTok sebagai platform berjualan bukanlah solusi yang efektif. Hal ini seolah-olah menghambat perkembangan teknologi yang tidak dapat dihindari. Dia juga mengingat kembali upaya pemerintah beberapa tahun sebelumnya untuk melindungi angkutan konvensional dari persaingan angkutan online, yang pada akhirnya tidak berhasil.
“Sama seperti lima hingga enam tahun lalu, pemerintah berusaha melindungi ojek, angkutan, dan taksi konvensional dari serbuan ojek online, yang pada akhirnya juga tidak berhasil,” ujarnya.
Di sisi lain, Gita berpendapat bahwa beberapa pihak terlalu menyederhanakan masalah dengan menganggap TikTok sebagai satu-satunya penyebab sepinya pasar. Padahal, ada banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lain yang kesulitan untuk berjualan karena tidak memiliki tempat fisik.
“Sebenarnya teknologi ini justru membantu UMKM lain yang tidak memiliki akses ke pasar. Mereka hanya perlu memiliki email dan membuka akun, lalu mereka dapat berjualan,” tambahnya.
Gita juga menyoroti kenyamanan sebagai faktor lain yang mendorong pembeli beralih dari pembelian konvensional ke online.
“Kadang helm hilang, mobil tergores, suasana tidak nyaman, panas, penuh sesak, orang yang menawarkan barang seenaknya. Semua ini membuat orang enggan berbelanja di pasar tradisional,” katanya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah perlu berkolaborasi dengan pedagang untuk menciptakan kenyamanan sehingga masyarakat kembali berbelanja di pasar tradisional. Selain itu, pedagang juga perlu beradaptasi dan tidak hanya mengandalkan model pemasaran konvensional, mengingat teknologi terus berkembang.
“Para pelaku usaha juga sebaiknya tidak terlalu terikat pada model pemasaran konvensional. Ada banyak pelatihan digital marketing yang diselenggarakan oleh pemerintah,” pungkasnya.
Dengan demikian, berjualan di lokapasar tidak hanya sebatas mengunggah produk, tetapi juga melibatkan pembuatan konten terkait produk secara rutin, sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk membelinya. (riq/ted)