Jakarta (pilar.id) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebut, sepanjang 2022 telah terjadi 28 kasus penculikan anak.
Data tersebut berdasarkan laporan yang diungkap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang jumlahnya cenderung meningkat jika dibandingkan 2021, yakni sebanyak 15 kasus penculikan anak.
Psikolog Universitas Gadjah Mada Edilburga Wulan Saptandari mengatakan, penculikan anak bisa menjadi pengalaman traumatis bagi para korban. Sebab, penculikan merupakan pengalaman tidak menyenangkan yang bisa memunculkan perasaan tidak nyaman, syok, cemas, tidak berdaya bahkan depresi.
“Lalu, apakah menyebabkan trauma atau tidak, ini tidak bisa didiagnosis begitu sajam tetapi perlu pemeriksaan lebih mendalam,” kata Edilburga, Kamis (2/2/2023).
Selain itu, dikatakan Edilburga, perlu dilihat kasus per kasus. Misalnya penculik melakukan tindak kekerasan baik fisik maupun seksual serta perlakuan buruk lainnya, anak korban penculikan bisa lebih rentan mengalami trauma. Hal berbeda akan muncul pada anak korban penculikan yang diperlakukan dengan baik selama penculikan.
Lantas bagaimana agar terhindar dari penculikan, Edilburga membagikan sejumlah tips. Salah satunya, orang tua perlu membekali anak dengan pengetahuan, terutama saat berhadapan dengan orang asing.
Anak diberikan pemahaman untuk tidak sembarangan berbicara, tidak mudah percaya, tidak mudah terbujuk dengan iming-iming pemberian orang lain, serta bisa menolak ajakan orang yang tidak dikenal. Lalu, orang tua juga perlu mengajari anak tentang mekanisme melindungi diri sendiri seperti belajar bela diri.
Selain itu saat berhadapan dengan orang asing yang mencurigakan ataupun ketika terpisah dari keluarga, anak diajarkan untuk berteriak meminta tolong serta mencari bantuan pertolongan pada orang yang tepat. “Beri pengertian saat meminta tolong pada orang berseragam seperti satpam atau karyawan toko yang besar kemungkinannya memberikan bantuan,” terangnya.
Berikutnya, bantu anak dalam mengenali identitas diri. Anak diajari untuk mengingat namanya, orang tua, alamat rumah serta nomor telepon orang tua. Dosen Fakultas Psikologi UGM ini mengatakan, anak-anak juga perlu dibiasakan untuk selalu minta izin kepada orang tua setiap akan melakukan sesuatu.
Selain sebagai bentuk pengawasan, meminta izin juga membantu anak dalam memahami hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan terbiasa minta izin, saat ada orang asing yang memberikan sesuatu atau mengajak pergi, anak-anak akan terbiasa meminta izin atau konfirmasi terlebih dulu kepada orang tuanya.
Tak hanya itu, orang tua juga perlu memberikan literasi pada anak tekait keamanan dalam bermedia sosial. Anak diberikan pengertian untuk tidak membagikan informasi pribadi di media sosial.
“Kasus penculikan, tak jarang juga berawal dari media sosial atau bermain game. Terutama pada anak praremaja dan remaja sehingga perlu diberikan pendidikan terkait kemanan siber,” tuturnya. (ach/hdl)