Surabaya (pilar.id) – Satu per satu daun-daun itu ditata di atas lembar kain putih yang sudah dibasahi. Bentangannya memenuhi meja kayu lebar di tengah ruangan sebuah rumah yang disulap menjadi tempat produksi.
Bersama dua karyawan yang membantu menata daun, Didik Edy Susilo sesekali melihat ke arah sketsa hasil desainnya. Tangannya sibuk mencari jenis daun untuk menyesuaikan dengan motif yang akan dicipta. Daun lanang, jati, sepatu, hingga belimbing yang masih lembab diletakkan di dekat meja.
Menata dedaunan tersebut, menjadi awal rangkaian produksi kain ecoprint. Setelah daun selesai ditata, akan diselimuti kain blanket yang sudah direbus dengan pigmen pewarna alami untuk merangsang tanin, agar ruas dedaunan bisa menimbulkan jejak bercak di kain.
Tahapan lalu berlanjut ke proses kukus, pengeringan sampai fiksasi warna, hingga bercak ruas dedaunan bisa tercetak sempurna, yang menjadikan daya tarik menawan dari ecoprint. Butuh waktu berhari-hari untuk selembar kainnya.
Tak mengherankan kalau kain ecoprint ini terbilang mahal hingga dihargai jutaan rupiah. Karena selain ketelatenan, masing-masing kain memang dicipta secara manual menggunakan tangan, dengan penuh kesabaran.
Meski mahal, jenis kain ecoprint ini semakin banyak peminatnya. Didik mengatakan dalam tiga tahun ini setiap hari dirinya bisa rutin membuat sampai enam lembar kain berbahan katun sampai belacu. Ini belum termasuk yang jenis premium dengan bahan sutra.
Selain memanfaatkan lingkungan sekitar, dedaunan sebagi bahan untuk mencetak ecoprint mereka datangkan dari luar kota. Juga batang-batang kayu sebagai pigmen pewarna alaminya, seperti dari pohon mahoni, secang, manjakani, manggis, dan sebagainya.
Didik bercerita, awal mula menggeluti produksi kain ecoprint pada 2019. Kebetulan sebagai ketua RW di lingkungan Wisma Kedung Asem, Rungkut, Surabaya, dirinya berencana mengikutkan kampungnya untuk kompetisi Surabaya Smart City (SSC) yang digagas Pemkot Surabaya.
Salah satu syarat penilaian SSC, kampung unggulan harus memiliki potensi ekonomi yang bisa diandalkan. Lalu istrinya Yayuk Eko Agustin, Ketua Penggerak PKK RW, berinisiatif mendatangkan mentor senior untuk melatih ibu-ibu membuat kain ecoprint sebagai produk unggulan di kampungnya. Ternyata Didik tertarik mengikuti pelatihan tersebut.
“Dari situ akhirnya keterusan sampai sekarang, malah jadi saya yang aktif mendesain dan memproduksi kain ecoprint,” lanjutnya. Sementaran Istrinya, yang masih aktif sebagai PNS kebagian tugas untuk bagian promosi dan pemasaran.
Butuh ketekunan selama tiga tahun, sekarang UKM rintisan mereka mulai diajak Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur untuk berpameran dan mengikuti misi dagang sampai ke luar negeri, mewakili produk unggulan Jawa Timur, khususnya dari Surabaya.
Menggunakan merk Namira, kain-kain ecoprint buatan mereka sudah singgah hingga ke Thailand, Korea Selatan sampai Amerika Serikat.
Mereka pun kini aktif membagikan ilmu ecoprint melalui pelatihan. Buku tentang produksi ecoprint juga diterbitkan untuk berbagi inspirasi kepada masyarakat agar lebih berdaya ekonomi, lewat usaha rumahan. (ton/hdl)