Jakarta (pilar.id) – Keberhasilan Indonesia menggelar G20 mendapat apresiasi banyak kalangan. Eks Duta Besar Indonesia untuk Australia & Tiongkok Prof Imron Cotan mengatakan, Presiden Joko Widodo berhasil membuat para pemimpin dunia rileks dan menghindarkan terjadinya konflik selama KTT G20.
Sebagai negara terbesar keempat penduduknya di dunia, Indonesia, kata Imron, memiliki kemampuan sebagai juru damai. Apalagi, kata Imron, hal ini telah diatur dalam konstitusi untuk ikut serta menjaga perdamaian dunia.
“Menjadi ketua atau tidak menjadi ketua apapun, Indonesia wajib menjalankan tugas konstitusinya yaitu menegakkan perdamaian dunia. Jadi, saya kira kita mampu. Kita punya modal sebagai salah satu negara terbesar di dunia,” katanya.
Imron menegaskan, konstitusi telah menugaskan Indonesia sebagai juru damai atau penengah. Indonesia bisa diterima semua negara, karena relatif tidak punya musuh. Tidak seperti India, ketua Presidensi G20 berikutnya yang bermusuhan dengan China dan Pakistan.
Karena itu, saat ini perhatian seluruh dunia tertuju kepada Indonesia dan berharap menjadi juru damai untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina agar tidak berdampak lebih lanjut pada krisis global. Meskipun, menurut Imron, hal tu sebenarnya bukan tugasnya G20, tapi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sekarang ini sudah praktis tidak mempunyai gigi lagi.
“Organisasinya sudah tidak mampu mengatasi menghadapi tantangan zaman. Oleh karena itu, PBB perlu direformasi,” ujarnya.
Senada, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora Mahfuz Sidik mengatakan, saat ini Indonesia sudah menjadi bagian dari Big Dining Table, atau meja makan besar dunia, terutama negara-negara besar. Dengan Presidensi G20 ini, telah menunjukkan kemampuan dan kompetensi Indonesia di mata dunia.
“Perang ini memang tidak bisa diselesaikan dalam satu event saja dan big dining table membutuhkan langkah lanjutannya. Saya kira Indonesia harus mengambil peranan ini, menjaga keamanan, ketentraman dan kedamaian kawasan regional,” kata Mahfuz.
Sementara, Kapuslitbang Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas) Robi Nurhadi, menilai perang Rusia-Ukraina tidak hanya melibatkan kedua negara, tetapi merupakan perang polarisasi. Dengan demikian, akan sulit siapa yang menjadi juru damai dalam meredakan persoalan.
“Akibat perang polarisasi ini, tidak ada negara pengendali dan nantinya terbentuk tatanan baru,” katanya.
Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) Arfin Sudirman mengatakan, tatanan dunia hingga sekarang masih menganut hukum rimba atau anarkistis dalam kaitannya hubungan keamanan multilateral. Ketika terjadi perang yang menyangkut multilateral, maka tidak berlaku hukum antar negara.
“Sehingga hubungan antar negara di dunia bersifat anarkis. Untuk itu, setiap negara harus mampu bertahan survival di tengah ketidakpastian tatanan global ini. Tidak ada aturan hukum yang pasti dalam hubungan tatanan global. Ini pandangan dari pemaham orang realis,” kata Arfin.
Meski begitu, dia menilai momentum kepemimpinan Indonesia dalam KTT G20 tahun 2022 ini, cukup tepat. Indonesia dipandang sebagai negara yang bisa menjembatani persoalan Rusia, Amerika Serikat, dan sekutunya. Namun, Arfin memperkirakan, perang Rusia-Ukraina tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Setidaknya perang masih saja berlangsung paling cepat musim semi mendatang.
“Gencatan senjata Rusia kemungkinan tidak dalam waktu dekat. Apalagi popularitas Vladimir Putin cukup tinggi karena berhasil turunkan inflasi dan membayar utang IMF,” terangnya. (ach/hdl)