Jakarta (pilar.id) – Universitas Paramadina bekerjasama dengan al-Musthafa International University dari Iran dan STAI Sadra, dengan dukungan Paramadina Graduate School of Islamic Studies dan Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam, mengadakan seminar internasional bertema ‘Merawat Toleransi Beragama’ di aula Firmanzah Universitas Paramadina, Selasa (13/6/2023).
Seminar tersebut dihadiri oleh tiga guru besar sebagai narasumber, yaitu Prof. Dr. Abdul Hadi WM dari Universitas Paramadina, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dari STF Driyarkara, dan Prof. Dr. Hossein Muttaghi dari al-Musthafa International University. Seminar ini dipandu oleh Dr. M. Subhi-Ibrahim sebagai moderator.
Prof. Franz Magnis-Suseno, narasumber pertama, menjelaskan tentang konsep intoleransi. Menurutnya, intoleransi memiliki dua bentuk, yaitu intoleransi biasa dan intoleransi agama. “Intoleransi biasa adalah sifat alami manusia dalam melihat perbedaan, sedangkan intoleransi agama adalah sikap intoleran yang didasarkan pada ajaran agama.”
Bagi Prof. Franz Magnis-Suseno, keragaman agama dapat menjadi berkah sekaligus bencana. Ia mengatakan, “Kondisi toleransi dan komunikasi antar umat beragama di Indonesia telah berjalan dengan baik, dan hal ini harus terus dijaga melalui pola komunikasi yang saling menghormati, berempati, dan menempatkan agama sebagai rahmat. Contoh terbaik adalah pertemuan dan dialog antara Imam Besar Ahmed al Tayeb dengan Paus Fransiskus.”
Lebih lanjut, Prof. Franz Magnis-Suseno menegaskan bahwa toleransi bukanlah pluralisme agama, karena pluralisme akan melahirkan relativisme. Ia berpendapat bahwa yang perlu dilakukan adalah menyadari perbedaan antar agama.
Sementara itu, Prof. Abdul Hadi memaparkan pengalaman dan praktik toleransi yang sudah menjadi bagian dari berbagai tradisi di Nusantara. Ia menjelaskan, “Perilaku intoleran atau kekerasan tidak disebabkan oleh ajaran agama, tetapi dipicu oleh faktor politik. Sebagai contoh, ekspansi kerajaan Mataram Islam ke kerajaan Madura yang notabene sesama muslim.”
Prof. Abdul Hadi juga menjelaskan bahwa identitas agama muncul sebagai gerakan yang radikal sebagai konsekuensi dan respons terhadap kolonialisme Belanda.
Narasumber ketiga, Prof. Hossein Muttaghi, mencoba menjelaskan sikap toleransi dan moderasi beragama dengan mengkategorikan tiga kelompok pemikir Muslim. Ia mengatakan, “Kelompok pertama adalah mereka yang menganggap bahwa agama harus menyesuaikan diri dengan kehidupan modern. Mereka dikenal sebagai kelompok modernis, seperti Syed Ahmed. Kelompok kedua cenderung ingin kembali ke masa lalu. Bagi mereka, kehidupan modern harus sesuai dengan ajaran agama. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok salafi. Kelompok ketiga adalah mereka yang menginginkan agama sebagai solusi untuk kehidupan modern.”
“Jika agama tidak mampu memainkan peran tersebut, maka agama akan ditinggalkan. Pemikir Muslim yang berada dalam sikap ini, misalnya Murtadha Muthahhari dan Nurcholish Madjid. Kedua tokoh ini teguh memegang Islam dan menganggap Islam sebagai solusi,” tambahnya.
Seminar ini berlangsung selama tiga jam dan diselenggarakan secara hybrid (daring dan luring). Acara dihadiri oleh kalangan civitas akademika Universitas Paramadina dan STAI Sadra, serta masyarakat umum lainnya. Peserta sangat antusias mengajukan berbagai pertanyaan dan terlibat dalam diskusi hingga akhir seminar. (hdl)