Jakarta (pilar.id) – Akibat merebaknya kasus gagal ginjal akut progresif di Indonesia, Badn Pengawasa Obat dan Makanan (BPOM) RI melakukan pengujian kepada 102 obat sirop yang ditemukan di rumah para pasien dan korban meninggal gagal ginjal akut.
Dari penelitian atas 102 obar sirop tersebut, BPOM menemukan tiga produk obat sirop yang memiliki kandungan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang diduga menjadi pemicu kerusakan ginjal. Ketiganya berasa dari tiga produsen farmasi swasta.
Dan saat ini, ketiga perodusen tersebut telah diproses secara pidana karena dinilai melakukan kelalaian pemenuhan standar keamanan obat. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Afi Pharma, PT Universal Pharmaceutical, dan PT Yarindo Farmatama.
Untuk produk paracetamol dari PT Afi Pharma, menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Penny K. Lukito, diketahui mengandung senyawa perusak ginjal.
“Untuk produk Afi Pharma ini adalah produk Paracetamolnya. Ini akan dikembangkan lebih jauh lagi,” kata dia dalam konferensi pers di Serang, Banten, Senin (31/10/2022).
Selain PT Afi Pharma, produsen lainnya adalah PT Universal Pharmaceutical Industries di Tanjung Mulia, Medan, Sumatera Utara.
Tim gabungan dari BPOM bersama Bareskrim Polri menyita ratusan ribu produk obat sirop bermerek dagang Unibebi untuk demam dan batuk yang diproduksi PT Universal.
“BPOM menyita 64 drum Propilen Glicol dari distributor bahan baku Dow Chemical Thailand Ltd dengan 12 nomor batch berbeda,” katanya.
Selain dua produsen tersebut, BPOM juga melakukan uji sampel obat sirop pada sejumlah produsen yang dinilai tidak patuh pada prosedur cara pembuatan obat yang baik.
Hasilnya, ditemukan pelanggaran serupa oleh PT Yarindo Farmatama di fasilitas produksi Jalan Modern Industri IV Kav. 29, Cikande, Serang, Banten pada produk obat sirop bermerek dagang Flurin DMP yang tercemar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
“Kami menekankan, bahwa ini adalah kejahatan kemanusiaan dan BPOM bersama Polri akan melakukan langkah dengan lebih tegas,” katanya.
Ketiga produsen saat ini dijerat dengan Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan, pasal 196, pasal 98 ayat 2 dan 3 dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp1 miliar.
Selain itu, produsen diduga memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar dan persyaratan pasal 62 ayat 1 pasal 18 dan UU RI Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda Rp2 miliar.
“Jika terbukti ada kaitan dengan kematian konsumen, akan ada ancaman pasal lain,” katanya. (fat)