Surabaya (pilar.id) – Di tahun 2023 nanti, seperti yang disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo. Indonesia dibidang perekonomian akan mengalami masa yang suram atau bahkan resesi.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Prof Dra Ec Dyah Wulansari MEc Dev Ph.D saat pengukuhan Guru Besar oleh Rektor Universitas Airlangga di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR C, Rabu (28/12/2022), jika menurunnya perekonomian itu disebabkan krisis energi
Adanya krisis energi itulah, mengakibatkan tingginya harga minyak mentah dan gas di pasar internasional, yang menghambat laju pemulihan ekonomi secara global. Salah satunya, seperti kenaikan harga minyak mentah dunia dan minimalnya jumlah ekspor Indonesia.
“Krisis energi membuka peluang industri minyak kelapa sawit untuk menembus pasar minyak dunia. Minyak kelapa sawit merupakan bahan dasar pembuatan biodiesel dan energi yang ramah lingkungan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, bila membaca kebutuhan pasar yang besar terhadap minyak kelapa sawit, memberikan peluang dan tantangan kepada Indonesia untuk terus meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan pasar internasional.
Selain itu, menurutnya meski kelapa sawit menduduki jumlah ekspor tertinggi sebesar 60,85 persen, tren harga minyak kelapa sawit Indonesia masih rendah dibandingkan dengan Malaysia.
Sehingga diperkirakan permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia akan meningkat dengan tantangan pembukaan areal hutan.
Namun dampak negatifnya, jika pembukaan lahan sawit diperluas, maka jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan lahan kritis baru dan dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis.
Maka dari itu, Prof Dyah menjelaskan, untuk meningkatkan produksi minyak tanpa mengancam kekayaan alam Indonesia, yaitu perlu upaya efisiensi, seperti perhitungan penggunaan lahan menggunakan metode Stochastic Frontier Analysis (SFA) atau dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA).
“Rata-rata skor efisiensi penggunaan lahan di setiap provinsi di Indonesia relatif sama. Jumlah usaha yang dapat perkebunan yang dapat memanfaatkan lahannya secara optimal baru 0,31 persen dan sisanya 99,69 persen belum dikelola,” sebutnya.
Hasil perhitungan metode DEA, kata Prof Dyah, menunjukkan perusahan minyak kelapa sawit dari hasil tandan buah segar, CPO (Minyak Sawit Mentah) senilai 4,8 persen, dan PKO (Minyak Inti Sawit) 26,83 persen dinilai belum optimal. Produksi Indonesia sendiri dalam kurun waktu produktif hanya mampu memproduksi 9-15 ton TBS/hektar.
“Upaya yang bisa kita lakukan untuk meningkatan produksi minyak kelapa sawit, yaitu mengunakan faktor input yang lebih efisien, mengoptimalisasikan skala produksi melalui peningkatan keterampilan dan kualitas pekerja, serta kemajuan teknologi melalui pengembangan R&D,” tutupnya. (jel/hdl)