Jakarta (pilar.id) – Lengang. Itulah yang terlihat ketika memasuki tempat-ptempat produksi tempe di kawasan Johar Baru. Tidak ada aktifitas produksi sama sekali. Para perajin tempe yang biasanya terlihat membersihkan kedelai, mencampur tempe dengan ragi, dan membungkus adonan tempe tidak lagi tampak berkegiatan.
200 perajin tahu dan tempe di di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat sampai saat ini mengikuti aksi mogok produksi. Mereka melakukan aksi protes karena melambungnya harga kedelai impor sebagai bahan baku utama komoditas itu.
“Untuk wilayah Kampung Rawa, ikut (mogok) bersama karena bentuk protes kita kepada pemerintah supaya cepat ditangani. Permasalahannya apa? Ini kok kedelai bisa selalu naik terus,” kata salah satu perajin tempe, Agus, di Jakarta, Senin (21/2/2022).
Kondisi ini, setidaknya akan terus berlangsung hingga Rabu (23/2/2022). Namun, jika tidak ada perubahan harga kedelai di pasaran, aksi ini bisa saja berlangsung lebih lama lagi.
Agus kembali menegaskan bahwa aksi mogok itu dipicu oleh naiknya harga kedelai impor hingga Rp12.000 per kilogram (kg) atau meningkat signifikan dibandingkan harga normal berkisar Rp9.500-Rp10.000 per kg.
Senada dengan itu, perajin tahu tempe lainnya, Ahmad Abdullah, mengaku aksi mogok produksi dilakukan karena sebagian besar konsumen sebelumnya keberatan karena harga tempe yang dijual menjadi dua kali lipat.
“Harga kacangnya melambung tinggi sehingga harga jualnya juga tinggi, jadi susah. Orang-orang pada kaget beli tempe Rp5 ribu, sekarang Rp8 ribu, terus Rp10 ribu, terpaksa berhenti dulu lah,” kata dia.
Ketua Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Jakarta Pusat, Khairun, meminta agar Pemerintah dapat melakukan penugasan kepada Perum Bulog untuk kembali melakukan impor kedelai.
Khairun menjelaskan jika importasi dilakukan oleh perusahaan swasta, pemerintah harus mengatur batas harga atas guna menciptakan kepastian produksi.
“Sekarang Bulog tidak impor kedelai, jadi susah, swasta yang beli. Memang perdagangannya jadi bebas, tetapi kita sebagai perajin jadi terombang-ambing karena tidak ada (batas) harganya,” kata Khairun. (lin/fat/antara)