Jakarta (pilar.id) – Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy resmi kembali jadi salah satu anggota di partai tersebut. Tak hanya kembali jadi anggota, Romahurmuziy yang juga mantan narapidana kasus korupsi, bahkan, mendapatkan kursi prestige dengan menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan.
Untuk diketahui, Romahurmuziy atau yang akrap disapa Rommy itu terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan korupsi jual beli jabatan di lingkup Kementerian Agama (Agama). Bahkan, ia telah divonis 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, tahun 2020 lalu.
Pengamat politik, Emrus Sihombing mengatakan, kembalinya Rommy ke PPP merupakan kabar buruk dalam konteks upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal itu juga bisa dimaknai sebagai lambang nonverbal, ada pesan yang ingin disampaikan ke publik bahwa mantan narapidana korupsi masih bisa masuk partai politik.
“Sementara partai politik adalah institusi demokrasi kita, melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa kita yang membawa bangsa ini antikorupsi,” kata Emrus, di Jakarta, Rabu (4/1/2022).
Menurut Emrus, korupsi di Indonesia sudah menjadi patologi sosial yang kronis. Bahkan, ia menggambarkan korupsi di Indonesia seperti penyakit kanker stadium 4. “Yang tinggal tunggu waktu,” sambungnya.
Emrus mengatakan, kembali Rommy ke PPP juga menunjukkan saat ini masih adanya tokoh-tokoh nasional dan partai politik yang permisif terhadap perilaku koruptif.
Ia juga menyinggung soal pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat yang terduga korupsi tidak baik bagi negara.
“Ini kan sebenarnya mendukung perilaku koruptif. Jadi masih banyak pejabat-pejabat kita ini sesungguhnya mereka bukan antikorupsi,” tegas Emrus.
Dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) itu juga meminta, sekecil apapun upaya pemberantasan korupsi harus mendapatkan penghargaan. Sehingga, jangan sampai ada pernyataan atau tindakan yang seolah-olah justru memberikan dukungan perilaku koruptif.
“Jangan sampai ada muncul pandangan-pandangan yang seolah-olah mensuport, mendukung perilaku koruptif,” kata dia. (ach/fat)