Lampung Timur (pilar.id) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tengah berupaya untuk memastikan hak pendidikan bagi korban rudapaksa atau pemerkosaan berusia 14 tahun (RA) yang terjadi di Lampung Timur.
Korban mengalami pemerkosaan oleh tetangganya yang merupakan seorang lansia berusia 69 tahun. Namun, KemenPPPA sangat menyayangkan keputusan sekolah untuk mengeluarkan korban yang saat ini sedang hamil lima bulan akibat kejadian tersebut.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, menyatakan bahwa korban pemerkosaan seharusnya mendapatkan perlindungan dan pemenuhan haknya agar dapat pulih dan melanjutkan hidupnya seperti sedia kala.
Salah satu hak yang harus dipenuhi adalah akses terhadap pendidikan yang layak. Masa depan anak masih panjang dan haknya untuk bersekolah tidak boleh terbatasi.
Nahar menekankan bahwa lingkungan sekitar, terutama institusi pendidikan, harus memberikan perlindungan bagi anak korban kekerasan seksual dan tidak menimbulkan stigma negatif.
KemenPPPA melalui Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) akan melakukan koordinasi lebih lanjut untuk memastikan bahwa korban RA tetap dapat mengakses pendidikan meskipun dalam kondisi hamil.
Upaya ini melibatkan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Lampung Timur. Tujuannya adalah memastikan kondisi fisik dan psikis korban, serta memberikan layanan pendampingan visum dan dukungan psikologis kepada korban dan orang tua korban.
Nahar juga menyampaikan bahwa KemenPPPA telah memberikan pendampingan dalam proses hukum bagi korban.
Kementerian akan terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk memastikan bahwa korban mendapatkan keadilan dan pelaku dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Saat ini, pelaku telah ditahan di Polsek setempat dan proses penyidikan sedang berlangsung.
Pelaku akan dijerat dengan pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara antara 5 hingga 15 tahun serta denda maksimal Rp 5 miliar. Selain itu, pelaku juga berpotensi mendapatkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas.
Nahar menyoroti pentingnya penegakan hukum sesuai dengan UU No 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang memberikan hak-hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi sebagai korban kekerasan seksual.
KemenPPPA juga mengajak masyarakat untuk berani melapor kepada pihak berwajib jika mengetahui atau mengalami kasus kekerasan seksual.
Melalui pelaporan ini, kasus serupa dapat dicegah dan masyarakat dapat berperan aktif dalam memberantas kekerasan seksual. Masyarakat dapat melaporkan kasus kekerasan seksual melalui SAPA 129 KemenPPPA melalui hotline 129 atau WhatsApp 08-111-129-129, serta melaporkannya kepada pihak kepolisian setempat. (mad)