Jakarta (pilar.id) – Nasib Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara sepertinya diujung tanduk. Setelah SoftBank mundur sebagai investor, dua konsorsium yang menjadi investor megaproyek IKN dikabarkan bakal menyusul. Alhasil, ide urun dana masyarakat pun muncul.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, menarik kerja sama investasi tentu tidak mudah. Bukan saja karena efek SoftBank mundur, tapi keraguan investor juga muncul karena banyak faktor fundamental.
Menurutnya, ada banyak hal yang membuat IKN Nusantara gagal terealisasi. “Perencanaan kurang matang, UU dibuat terburu-buru, penghitungan skala ekonomi kurang cermat, konteks tidak mendesak di saat pandemi dan risiko politik terlalu tinggi,” kata Bhima, Rabu (30/3/2022).
Pengalaman komitmen investasi di luar dari konteks IKN tidak sedikit yang mangkrak, bahkan macet dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Apalagi menarik investasi sebesar IKN. Menurut dia, sah-sah saja pemerintah mencoba penawaran proyek IKN dengan negara nain, misalnya Arab Saudi. Tapi beberapa faktor bisa menjadi hambatan utama.
Pertama, kata Bhima, Arab Saudi tengah mendorong kembali investasi di sektor minyak dan gas (migas) karena momentum harga minyak mentah sedang tinggi-tingginya. Tercatat, perusahaan migas Arab Saudi, yakni Aramco, meningkatkan investasi sebesar 50 persen lebih tinggi sepanjang 2022.
Kedua, kalaupun Arab Saudi tertarik berinvestasi di negara lain, perlu dijamin keselarasan dengan visi Arab Saudi 2030 yang masuk ke energi hijau, teknologi, dan pertanian. Sementara IKN tidak cocok dengan visi Arab Saudi tersebut. Apalagi dalam proses pembebasan lahan IKN rentan konflik dengan keberlanjutan lingkungan hidup.
Ketiga, porsi investasi asal Arab Saudi sejauh ini sangat kecil dan cenderung turun dalam 10 tahun terakhir. Arab Saudi lebih tertarik dengan Malaysia karena instrumen keuangannya relatif lebih lengkap dibandingkan Indonesia, khususnya instrumen syariah.
Keempat, paska mundurnya SoftBank, banyak investor yang ragu berinvestasi di IKN karena belum jelasnya proposal teknis dan jaminan penduduk IKN dalam jangka panjang. Situasi konflik di Ukraina juga membuat risiko berinvestasi di proyek infrastruktur cenderung meningkat.
Terkait wacana urun dana pembiayaan IKN, menurut Bhima, kalau konteksnya adalah proyek sosial atau pembiayaan UMKM, mungkin cukup tepat. Akan tetap IKN adalah proyek yang sifatnya komersil, terutama di kawasan yang ditujukan sebagai perumahan, taman hiburan, dan sebagainya.
“Jadi kurang pas IKN menggunakan skema crowdfunding. Apalagi kalau targetnya masyarakat di Jabodetabek yang justru berpikir bahwa lokasi IKN yang jauh akan menyulitkan dalam proses berbagai administrasi atau layanan pemerintah,” kata dia.
Belum lagi ihwal seberapa mendesak pembangunan IKN itu sendiri. Sampai detik ini masih timbul perdebatan dan penolakan di publik, terlebih ada rencana kenaikan pajak PPN pada April mendatang.
“Kan tarif pajak tahun ini sudah naik, uang pajak masuk ke APBN dan digunakan salah satunya untuk IKN. Lalu buat apa lagi minta uang lewat urun dana?” ujar Bhima.
Menurut dia, masih banyak kebutuhan masyarakat yang lebih prioritas. Misalnya membeli minyak goreng dan kebutuhan pangan dengan harga terjangkau. Kata dia, motif urun dana jadi pertanyaan besar masyarakat. Dia khawatir APBN tidak siap atau investor belum tertarik ke IKN sehingga opsi urun dana dibuka.
“Di Malaysia pernah terjadi urun dana yang nilainya mencapai US$1,8 juta hanya dalam waktu 24 jam, tapi konteksnya untuk membayar utang pemerintah,” ungkapnya. (her/din)