Surabaya (pilar.id) – Sejak 20 Januari hingga 23 Februari 2023, Koalisi Masyarakat Sipil terus melakukan pemantauan terkait pelaksanaan sidang Tragedi Kanjuruhan yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh tim Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LPBH-NU Kota Malang, KontraS, dan LBH Surabaya menemukan sejumlah kejanggalan. Setidaknya, ada delapan kejanggalan yang mereka temukan di persidangan Tragedi Kanjuruhan.
Tim dari Koalisi Masyarakat Sipil ini, melakukan pemantauan terhadap jalannya proses persidangan terhadap lima terdakwa antara lain, AKP Hasdarmawan, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, AKP Bambang Sidik Ahmadi, Abdul Haris, dan Suko Sutrisno.
Koordinator LBH Malang, Daniel Siagian mengatakan, penetapan kelima terdakwa dianggap sangat janggal. Sebab, tidak ada satupun dari petugas kepolisian yang melakukan penembakan gas air mata di dalam Stadion Kanjuruhan yang turut ditetapkans sebagai tersangka.
“Kejanggalan pertama dibatasinya media massa dalam melakukan siaran langsung atau live streaming selama proses persidangan berjalan. Kami menilai hal tersebut merupakan tindak pembatasan atas kebebasan pers dan hak publik dalam melakukan pemantauan persidangan proses Kanjuruhan. Mengingat ketentuan acara lidana menegaskan bahwa persidangan terbuka untuk umum,” kata Daniel.
Kejanggalan kedua yang mereka temukan, dialihkannya proses peradilan ke Pengadilan Negeri Surabaya, padahal lokus wilayah hukum peristiwa berada di Kabupaten Malang. Kemudian kejanggalan ketiga diterimanya perwira aktif anggota kepolisian (Bidkum Polda Jawa Timur) sebagai penasihat hukum tiga terdakwa Kepolisian yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
“Hal tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan bertetangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang Polri,” imbuh Daniel.
Kejanggalan keempat, puluhan saksi-saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dan penasihat hukum terdakwa banyak berasal dari institusi kepolisian baik di jajaran Polres Malang sampai jajaran Polda Jawa Timur. Kejanggalan kelima sangat minimnya keterlibatan keluarga korban.
“Korban dan saksi mata sebagai saksi dalam persidangan. Diantara puluhan saksi yang diperiksa, hanya satu keluarga korban (DA) yang dihadirkan dalam persidangan,” ujar Daniel.
Kejanggalan ke enam adalah perilaku Hakim cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil dari pernyataan saksi
dalam pembuktian. Sedangkan dalam ketentuan Acara Pidana dan Undang-Undang kekuasaan kehakiman mensyaratkan bahwa hakim harus menguji dan menggali kebenaran materiil dalam perkara yang menyebabkan meninggalnya 135 nyawa dan ratusan korban lainnya luka-luka baik berat maupun ringan.
Selanjutnya kejanggalan ke tujuh menurut Koalisi Masyarakat Sipil adalah perilaku jaksa penuntut umum yang cenderung pasif dalam menggali dan menguji kebenaran materiil dalam pemeriksaan saksi di persidangan.
Contohnya, pada saat saksi yang berasal dari keluarga korban (DA), JPU hanya menanyakan hasil otopsi kedua anak (NDR dan (NR) keluarga korban. Namun tidak berusaha menggali penyebab dari Kematian korban,” ujar Daniel.
“Dan kejanggalan ke delapan adalah tindakan Jaksa Penuntut Umum yang tidak mendalami untuk menanyakan dan menggali secara detail mengenai kausalitas matinya salah satu keluarga korban (DA). Pada faktanya pemeriksaan tersebut tidak lebih dari 30 menit dan pertanyaan JPU hanya mengkonfirmasi soal hasil autopsi salah satu korban,” tandasnya. (fat)