Jakarta (pilar.id) – Keputusan Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja mendapatkan kritikan keras dari Anggota Komisi V DPR RI, Toriq Hidayat.
Menurutnya, Presiden memang memiliki wewenang untuk menerbitkan Perppu namun, harus memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Di sisi lain, Toriq juga menyebut bahwa Presiden, juga tidak bisa secara serampangan menerbitkan Perppu tanpa alasan yang jelas dan terukur.
Lebih lanjut, Toriq juga menegaskan bahwa Perppu yang telah diterbitkan oleh Presiden, bisa saja dicabut apabila tidak mendapatkan persetujuan dari DPR RI selaku lembaga legislatif. Apalagi, Toriq menilai bahwa momentum penerbitan Perppu pun kurang tepat karena saat itu, DPR sedang dalam masa reses.
“Menerbitkan Perppu saat kondisi anggota DPR sedang reses menunjukkan upaya tersebut tidak didasari itikad baik dan rawan penyalahgunaan wewenang,” kata Toriq, di Jakarta, Senin (2/1/2022).
Ia menyayangkan tindakan pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja di masa reses DPR. Padahal, menurut Toriq, Perppu yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Desember 2022 lalu itu harus mendapat persetujuan dari DPR.
“Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak, maka Perppu tersebut harus dicabut,” kata Toriq.
Toriq menambahkan, kalau Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusannya atas pengujian formil terhadap UU Cipta Kerja dan menyatakan cacat formil atau inkonstitusional bersyarat pada November 2021 lalu.
Keputusan MK tersebut juga meminta kepada pemerintah untuk segera memperbaiki UU tentang Cipta Kerja berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku, dan standar.
“Itu sebabnya MK memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU (pemerintah dan DPR) melakukan perbaikan UU tentang Cipta Kerja selama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Nyatanya yang keluar malah Perppu,” kata Toriq Heran.
Menurutnya, tindakan pemerintah yang tidak mentaati putusan MK akan berdampak buruk pada tata cara bernegara di Indonesia. Terlebih, setiap undang-undang yang dibuat harus memenuhi kebutuhan hajat hidup seluruh masyarakat.
“Oleh karenanya, tidak boleh main-main dan menggampangkan. Harus dibahas dengan mendalam dan paripurna, melibatkan partisipasi masyarakat agar transparan,” tegas Toriq.
Untuk diketahui, Perppu memiliki jangka waktunya terbatas sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan dari DPR, pada masa persidangan berikutnya. Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, maka sah untuk dijadikan undang-undang. Namun, apabila Perppu itu tidak disetujui atau mendapat penolakan oleh DPR dapat dilakukan pencabutan.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, Perppu tidak dapat menganulir keputusan MK. Namun, menurutnya, UU yang inkonstitusional bersyarat hanya bisa diperbaiki dengan UU atau yang setingkat UU, yaitu Perppu.
“Tidak dapat. UU yang inkonstitusional bersyarat hanya bisa diperbaiki dengan UU atau yang setingkat UU yaitu Perppu. Secara prosedural pembuatan Perppu untuk memenuhi tuntutan UU yang inkonstitusional bersyarat adalah bisa, asal ada kondisi kegentingan. Kegentingan adalah hak subjektif Presiden. Tinggal diuji,” tulis Mahfud dalam akun Twitter-nya. (ach/fat)