Surabaya (pilar.id) – Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 270 juta dan tersebar di masing-masing provinsi, kabupaten, dan kota, memiliki masalah yang berbeda.
Meski demikian, jika menggunakan skema big data dengan benar, maka tiap persoalan, khususnya masalah kebutuhan pokok, harusnya bisa diantisipasi dengan baik. Terlebih saat ini adalah era big data.
Seperti dikatakan dosen pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Dr Rahma Gafmi SE M Ec, perlu adanya skema dalam menanggapi permasalahan kebutuhan pokok yang melonjak tinggi.
“Misalnya Jawa Timur ini ada tiga puluh delapan kabupaten dan kota, masing-masing kabupaten dan kota berapa jumlah kebutuhan bahan pokoknya? Kebutuhan daging setiap bulan berapa banyak? Ditambah bulan Ramadan dan Idul Fitri yang pastinya meningkat demand-nya. Karena Ramadhan dan hari raya Idul Fitri adalah momen yang terjadi setiap tahunya,” ungkapnya.
Ramadan dan lebaran merupakan moment tahunan yang tidak bisa terlewatkan, bahkan ketika ada masyarakat yang tidak memiliki uang yang cukup. Maka dengan segala cara ia akan mencukupkan kebutuhannya selama bulan Ramadan, terlebih mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum muslim.
Menurut Rahma, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Industri harusnya meninjau langsung kondisi yang terjadi di jajaran Dinas Perindustrian dan Perdagangan tiap daerah.
Nantinya kementerian berkoordinasi dengan pemerintah daerah perihal kebijakan yang harus dilakukan dalam menangani lonjaknya bahan pokok.
Namun bukan hanya Kementrian Perdagangan dan Kementerian Industri saja yang turun tangan, akan tetapi bagaimana pendistribusian tersebut bisa merata ke seluruh Indonesia dalam hal ini adalah Kementerian Perhubungan.
“Misalnya dengan penegak hukumnya adalah kepolisian dan kejaksaan untuk memantau suatu penimbunan, supaya tidak dilakukan kecurangan-kecurangan seperti yang telah dilakukan di komoditas minyak goreng saat ini,” jelasnya.
Terkait masalah penimbunan komoditas minyak goreng, hal tersebut harusnya menjadi perhatian khusus untuk diantisipasi dari awal.
Menurut Rahma, antisipasi dari adanya oknum yang melakukan penimbunan komoditas pokok mudah dilakukan apabila ada kemauan dari pemerintah. Kecuali, memang terjadi adanya indikasi tutup mata maupun kerja sama oknum-oknum pemerintah dengan oknum yang menimbun komoditas tersebut.
“Kalau kita membiarkan terus artinya membiarkan hal-hal seperti itu, karena itu sudah menjadi alasan klasik yang sebetulnya tidak perlu dijadikan suatu masalah kalau memang benar-benar mau memberantas,” tuturnya.
Tapi ternyata di lapangan, Kementerian Perdagangan dan Kementrian Industri kaget dengan kasus penimbunan yang terjadi dan mengatasnamakan masalah tersebut dengan isu mengenai adanya mafia.
Padahal, sambung Rahma, apabila Kementerian Perdagangan dan Kementrian Industri bisa berkoordinasi dengan pihak kepolisian, kejaksaan, maupun penegak hukum yang lain, atau dengan KPU (Komisi Persaingan Usaha), masalah tersebut dapat dicegah dan diselesaikan, karena KPU hadir sebagai lembaga yang berfungsi untuk mencegah adanya kartel, dan kecurangan berkaitan dengan persaingan usaha.
“Saya juga heran kepada pak presiden, mengapa ketika menterinya selama empat bulan tidak ada progress dibiarkan saja, harusnya kan presiden mempertanyakan perihal tidak adanya progress yang ada dan permasalahan yang terjadi. Langsung ditindak tegas menterinya itu jangan dibiarkan saja,” ungkapnya.
Apalagi, lanjut Rahma, program BLT sebesar Rp 1 juta yang tidak menyelesaikan masalah naiknya harga komoditas pokok di masyarakat.
Rahma berpesan kepada masyarakat Indonesia sebaiknya jangan melihat pertumbuhan ekonomi, namun produktivitasnya. Apabila pertumbuhan ditopang dengan produksi, maka akan tumbuh. Namun apabila terjadi konsumsi saja dan berkepanjangan, maka hasilnya akan tidak maksimal karena tidak adanya produktivitas.
“Jadi kita jangan fokus ke pertumbuhan ekonomi saja tapi ke produktivitasnya. Karena apabila produktivitas tumbuh, itu kan membutuhkan sumber daya manusia. Apabila sumber daya manusia tersebut dibutuhkan maka akan mendapatkan income dan benefit berkepanjangan,” pungkasnya. (hdl)