Jakarta (pilar.id) – Sepakbola Indonesia berduka. Seratus orang lebih telah dinyatakan meninggal dunia akibat tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu (1/10/2022) malam. Update terbaru yang disampaikan oleh PanditFootbal melalui akun media sosial twitter mereka, korban saat ini telah dikonfirmasi berjumlah 182 orang.
Suporter Arema FC merangsek masuk ke stadion usai timnya kalah dari Persebaya Surabaya dengan skor tipis 2-3. Polisi yang mengawal jawalnnya pertandingan kemudian melakukan langkah fatal. Mereka menembakkan gas air mata ke arah tribun penonon.
Padahal, penggunaan gas air mata di stadion sudah dilarang oleh FIFA. Sehingga, apa yang dilakukan polisi pada tragedi Kanjuruhan bisa dipasatikan melanggar aturan dari FIFA.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Indonesia Police Watch (IPW). Dalam keterangan tertulisnya, IPW menegaskan bahwa penggunaan gas air mata menyalahi aturan FIFA.
“Itu tercantum dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pasal 19 huruf b yang menyebutkan bahwa sama sekali tidak diperbolehkan membawa apalagi menggunakan senjata api atau gas air mata pengendali massa,” tegas Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW, pada Minggu (2/10/2022).
Dari berbagai video yang beredar di media sosial, terlihat asap pekat di tribun penonton hasil dari penembakan gas air mata yang membabi-buta. Akibatnya, ribuan suporter yang ada di tribun panik.
Para suporter merasakan sesak, mata perih dan panas, serta kesulitan untuk bernafas akibat menghirup gas air mata yang pekat. Bahkan, ada balita yang meninggal dunia di gendongan ibunya akibat menghirup gas air mata tersebut.
Kondisi tersebut membuat para suporter akhirnya berdesakan untuk segera bisa keluar dari stadion. Situasinya makini parah karena pintu keluar terbatas, sehingga mereka berdesakan untuk bisa keluar.
Sampai di luar stadion, para suporter menumpuk lagi, karena kondisi parkiran yang penuh. Banyak suporter yang tumbang, pingsan, tak sedikit yang terinjak-injak.
Jumlah korban meninggal dari waktu ke waktu juga terus bertambah. Mulai dari 30 orang dari dalam tribun, menjadi 120 orang di subuh hari. Belakangan, jumlah tersebut juga masih terus bertambah.
PanditFootball melaporkan korban bertambah jadi 130 orang pada pukul 10.00 WIB, dari total tersebut, 17 diantaranya adalah anak-anak. Berselang dua jam, sekitar pukul 11.35, korban meninggal yang dilaporkan PanditFootball bertambah jadi 182 orang.
Tragedi Kanjuruhan tersebut, seolah mengulang kembali apa yang pernah terjadi pada 24 Mei 1965 di Stadion Nacional di Lima, di Peru. Ketika itu, Peru sedang menjalani pertandingan kualifikasi Olimpade Tokyo melawan Argentina.
Peru kalah 1-0 dari Argentina dan membuat suporter tuan rumah marah. Mereka turun dari tribun menuju stadion.
Polisi Peru ketika itu, melakukan persis yang dilakukan polisi di Stadion Kanjuruhan, mereka menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Suporter yang panik, berebut keluar dari stadion. Namun, pintu stadion masih terkunci.
Akibatnya, mereka terus berdesak-desakan di tengah serbuan gas air mata. Tragedi ini, menyebabkan 328 orang meninggal dunia.
Atas tragedi tersebut, IPW meminta agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat. IPW menilai Kapolres Malang harus bertanggung jawab atas tindakan polisi yang menembakkan gas air mata dan melanggar atura dari FIFA tersebut.
“Jatuhnya korban tewas di sepakbola nasional ini harus diusut tuntas pihak kepolisian. Jangan samapi pidana dari jatuhnya suporter di Indonesia menguap begitu saja seperti hilangnya nyawa dua Bobotoh di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada Juni lalu,” tegas Sugeng. (fat)