Jakarta (pilar.id) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sejumlah temuan terkait penyelenggaraan haji yang belum ditinjaklanjuti hingga final. Pertama, terkait harmonisasi terhadap dua undang-undang terkait haji.
“Sekarang naskah akademiknya sudah sampai dan kita akan lihat terus sampai mana selesainya, karena kita bilang ini menjadi panduan fundamental,” kata Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, di Jakarta, Jumat (27/1/2023).
Temuan berikutnya terkait efisiensi di internal Kementerian Agama (Kemenag). KPK menemukan, terkait penetapan petugas haji yang tidak optimal dan tidak transparan. Terutama, petugas pembimbing ibadah haji.
“Baik yang di Arab Saudi, di kloter, dan pembimbing haji daerah. Saya bilang ini beban kerjanya dilihat, sehingga kita tahu berapa orang ini sebenarnya,” kata Pahala.
KPK menyarankan, petugas haji di daerah perlu dilakukan seleksi. Menurutnya, jangan hanya karena di daerah kurang pengawasan sehingga keluarganya pun ikut berangkat ke Tanah Suci.
“Efisiensi di luar yang kita lihat adalah proses penyedian barang dan jasa haji di Arab Saudi yang belum memenuhi pengadaan barang dan jasa yang ada di sini,” kata dia.
Pahala mengatakan, pada tahun 2022 terbit Kepres Nomor 5 Tahun 2022 yang menyebutkan besaran haji yang dibayarkan jamaah haji dari Aceh sampai Makassar sebesar Rp39,8 juta per orang. Saat itu biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) sebesar Rp81,7 juta.
“Jadi dari situ terlihat bahwa proporsi jamaah itu 48 persen, dan proporsi yang dari BPKH sekitar 52 persen waktu itu,” kata dia.
Namun, karena terjadi kenaikan biaya di Arab Saudi, maka skema pembiayaan tersebut berubah dengan keluarnya Kepres Nomor 8 Tahun 2022, porsi pembiayaan menjadi Rp39,8 juta berasal dari jamaah. Jamaah hanya menanggung 40 persen dari total Bipih, sementara nilai manfaat sebesar 60 persen.
“Tapi besaran penyelenggaraan ibadah haji menjadi Rp98,3 juta. Waktu itu diputuskan jamaah tidak menambah apapun. Sehingga nilai manfaat dari BPKH tadinya cuma Rp4,2 triliun menjadi Rp5,4 triliun” katanya.
Dia menjelaskan kalau skema pembiayaan seperti dilanjutkan, maka nilai manfaat akan habis dalam waktu cepat. Apalagi saat ini hanya sekitar Rp15 triliun nilai manfaat yang ada di BPKH.
“Kalau 60 persen terus disubsidi, maka akan habis. Ini yang diusulkan terbalik jamaah menanggung 70 persen, nilai manfaat 30 persen. Kalau 30 persen ini ada di BPKH, dia tenang,” kata Pahala.
KPK, lanjut Pahala, mendukung usulan Kementerian Agama (Kemenag) dengan syarat efisiensi dalam negeri dan luar negeri. Kemudian optimalisasi dana haji. “Dan masyarakat pada saat yang sama kita dorong transparansi komposisi biaya,” kata dia. (ach/hdl)